Agama Fiksi

Abdi Mulia Lubis
3 min readFeb 15, 2019

--

Dibutuhkan keberanian yang kuat untuk menyuarakan suatu pendapat dalam mendukung kebebasan berpikir agar terciptanya ide-ide yang bermutu daripada sekedar belagak ketinggian merasa suci paling agung untuk menyatakan seseorang kafir dan sesat hanya karena hal sepele yaitu berbeda keyakinan.

Agamamu apa? Kalau agamanya berbeda jangan terlalu didekati la, cari yang seagama baru pilih begitulah gosip yang terus hidup di pasaran. Lagi-lagi kita dibuat gaduh seakan bertahan dalam kedunguan yang panjang dengan hal-hal yang itu saja, semacam betapa sulitnya bagi kita untuk mendapatkan hidayah eksistensialisme agar menghentikan segala macam kebencian ini dan berupaya untuk menyuarakan keberagaman.

Kalau kita perhatikan secara radikal penyakit yang menimpa bangsa kita saat ini adalah penyakit berlomba-lomba menunjukkan kesalehan di depan publik dengan strategi berupa merebut citra kesucian agama dari masyarakat agar dianggap publik sebagai pemuka agama yang membawa keselamatan diakhirat kelak.

Kita lebih sibuk memilih bertengkar karena berbeda Mazhab teologi daripada berupaya untuk menghasilkan kesejahteraan yang merata bagi sesama, dan lagi-lagi kita dibuat jengkel dengan hadirnya para pemuka yang membawa satu dalil lalu melaga-lagakan dalil yang lain agar supaya dilihat bahwa idealis teologi ku lah yang paling benar.

Padahal Tuhan telah menciptakan manusia berupa pikiran. Pikiran adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna, menghina pikiran yang bebas berarti menghina ciptaan Tuhan, melarang seseorang untuk berpikir bebas artinya melarang Tuhan untuk terus mencipta.

Yang menjadi persoalan adalah ketika seseorang mengutarakan suatu pemikiran yang dalam maka ia dituduh kafir. Seorang sufi di abad ke 11 Ibnu Arabi misalnya mengatakan bahwa taubat Firaun sebelum ajal diterima Tuhan, seketika kita akan tercengang namun bila direnungkan ada benarnya bahwa filsafat yang diutarakan Ibnu Arabi Ini menunjukkan bahwa dalam kapasitas masalah iman dan pahala siapapun orangnya tidak bisa memastikan surga dan neraka di tempati oleh siapa.

Dalam hal ini pikiran harus dibebaskan dari cengkraman hukum-hukum langit yang belum pasti kesetaraannya untuk diuji di masa kini, bahwa hukum yang dibuat di langit tidak layak sepenuhnya untuk dibawa ke muka bumi karena belum tiba konsistensi epistemologi nya.

Dan hal ini menjadi petunjuk bahwa semacam ada pesan filosofis dari Tuhan yang belum terpecahkan manusia sejak jutaan tahun yang lalu hingga kini dan sebagian tugas Nabi hanya menerima Wahyu dari malaikat sedangkan para filsuf tugasnya memikirkan dunia dengan otaknya dan carilah sendiri jawabannya tanpa harus cengeng dengan beban hidup yang tengah dijalani.

Seperti misalnya kalau kita pakai definisi doa adalah fiksi yang mengaktifkan imajinasi yang menuntun suatu harapan untuk bergerak agar lebih giat lagi untuk bekerja dalam mewujudkan suatu impian, maka boleh dikatakan bahwa agama itu fiksi. Fiksi yang mengaktifkan imajinasi untuk berupaya lebih keras lagi dalam berusaha dan fiksi itu baik. Hanya saja kesadaran kita belum siap untuk menerima secara utuh suatu pemikiran dan kita memilih untuk diam dan biarkanlah semua ini berlalu dengan secepatnya. Itulah sebabnya mengapa Nietzsche mengatakan bahwa seseorang tidak ingin mendengarkan kebenaran karena takut halusinasi ilusinya terganggu.

Memperebutkan status ulama kini kita lihat seakan dianggap sebagai memperebutkan kesuksesan karena ada kekuasaan dalam bentuk hirarki yang disalahpahami.

Dikarenakan mayoritas adalah beragama ini maka pemilihan harus dimenangkan oleh agama mayoritas tersebut. Kurangnya sikap toleransi serta terbuka pada minoritas adalah bencana perpecahan di negeri ini dan orang lebih takut dibuat agama dibandingkan dalil konstitusi. Sebab yang kita takutkan adalah bila sumpah pemuda berubah maknanya menjadi suatu doktrinasi: kami beragama satu, berbusana satu, bahasa satu, khilafah dan syariah.

Yang menjadi sialnya adalah ketika banyak rakyat kita yang memilih lebih baik menderita asal sesuai dengan syariat ketimbang kesejahteraan serta kemakmuran yang berkeadilan merata. Inilah sebabnya mengapa negara di timur tengah saling cek-cok mempertengkarkan agama dan tak selesai dalam baku hantam peperangan hanya karena idealis mempertahankan syariat. Memang ketertinggalan itu disebabkan ada kekuasaan kebudayaan yang mengarahkan akal pikiran kita untuk meneropong alat kelamin dibandingkan meneropong alam semesta. Sehingga banyak pemuka agama yang berpendapat ngapain belajar filsafat serta sains untuk memahami alam semesta yang membuat kita jadi enggan untuk bekerja keras dalam belajar.

Harian Analisa, 15 Februari 2019.

http://harian.analisadaily.com/opini/news/agama-fiksi/693982/2019/02/15

--

--

No responses yet