Antisipasi Kegilaan Massal Intoleransi
Ketimpangan intoleransi yang kita hadapi belakangan hari ini kian lama kian menjadi-jadi, tak terelakkan lagi bahwa radikalisasi sebagai ajang pencarian surga paling tinggi membentuk semangat kesia-siaan pada para pemuda berupa lahirnya aksi teror dalam negara. Merasa paling benar dengan tak pernah berkaca pada diri dari etika keberagaman itu yang menjadikan seseorang berlomba-lomba ingin cepat masuk surga, padahal belum tentu dari kehendak dari yang maha kuasa apakah seorang itu layak atau tidak untuk masuk surga karena kemungkinan besar ditempatkan dalam neraka, sehingga yang terjadi adalah di dalam diri manusia itu bukan keseimbangan yang dicari melainkan kebenaran apa yang final agar bisa cepat senang-senang di alam baka.
“Siapa yang ingin masuk surga maka lakukanlah hal kejam seperti ini,” perkataan itulah yang mengundang semangat jihad abal-abal yang jauh dari refleksifitas. Kebenaran yang final dalam agama itu membentuk pemberontakan tanpa pandang kesatuan republik, sehingga satu agama menginginkan agamanya menguasai negara sementara satu negara tak bisa berpatok pada satu agama karena ia akan dianggap intoleran bagi negara yang lain, maka dalam negara dibutuhkan keberagaman dalam agama, kerukunan beragama itulah yang melindungi negara dan menunjukkan kemajuan dimata negara lain.
Aku toleransi maka keselamatan bagi negara, bukan aku beragama garis keras maka aku sendiri yang masuk surga, sementara korban dari tindakan teror itu tidak pernah dianggap ada. Pertanyaan nya yang penting kiranya sudah berapa lama negara kita berdiri dan masih banyak paham-paham radikal itu bertebaran ajarannya di media sosial, rumah ibadah, kita ingin berkembang progresif dengan pengembangan pengetahuan kemajuan sains sehingga sudah selayaknya meninggalkan basa-basi takhayul tentang agama.
Joko Pinurbo dalam buku puisinya berjudul Buku Latihan Tidur mengatakan “Agamaku air yang membersihkan pertanyaanmu,” sehingga dalam agama itu tidak ada keresahan dan tidak menyusahkan agama yang lain, manusia diciptakan bersuku dan berbudaya dengan aneka ragam sebagai wujud kasih sayang. Manusia diciptakan berbeda untuk saling merangkul bukan untuk memecah belah sehingga jangan ada doktrin ajaran surga adalah bom bunuh diri karena berbeda adanya tumpul logika dan nalar, tidak memakai pikiran melainkan mudahnya kenak labu.
Salah satu penyebab manusia kehilangan rasional dan bertindak intoleransi secara radikal adalah terlalu banyak mengkonsumsi Teologis, tentu kita tidak bermaksud untuk mencaci agama melainkan overdosis ibadah dalam biologi terlalu banyak minum vitamin jadi yang timbul adalah fantasi yang berlebihan merasa puas untuk cepat-cepat masuk surga. Jika di televisi terlalu banyak tayangan ceramah agama dibandingkan diskusi seminar sains, filsafat, kita butuh semangat baru berupa Penataran evolusi Dawkins demi kemajuan dan terciptanya gagasan sehat.
Goenawan Mohamad adalah salah seorang esais yang menunjukkan jalan terang bagi pembaca, membaca buku Pada Masa Intoleransi kita diajak untuk melihat dan menimbang suatu pencerahan, rasanya wajib dimiliki dan dibaca untuk tahun ini karena dengan itu kita sadar teror apa yang akan kita hadapi kedepan.
Kata “Intoleransi” harus berada di layar radar kita hari ini. Ini adalah sebuah isu genting yang mendorong kita untuk memerhatikan, mengingat kebiadaban sehari-hari yang dipaparkan kepada kita oleh media. (hlm 192) Beberapa kasus kekerasan meupakan akibat keputusasaan; sebagian murni karena balas dendam. Tetap saja, sejarah memiliki catatan yang kaya tentang penyerangan dan kekejaman yang dihasilkan oleh hasrat untuk memusnahkan orang yang berasal dari iman dan etnisitas yang berbeda.
Voltaire, pemikir dan penulis Prancis, menerbitkan TreatiseonTolerance pada 1763. Dalam salah satu paragrafnya, ia mengatakan bahwa walaupun memang benar bahwa “horor absurditas ini tidak menodai wajah bumi setiap hari”, kejadian semacam itu begitu “sering” sehingga “dapat dengan mudah mengisi sebuah buku yang lebih tebal daripada gospel”.
Semangat filsafat humanisme yang dipaparkan oleh Goenawan Mohamad dalam kumpulan esai dan ceramah kuliahnya telah mendorong banyak masyarakat mengerti tentang berlaku adil, bahwa manusia bisa mengatur dirinya sendiri untuk menghasilkan keadilan tanpa perlu pergi ke surga. Manusia dengan mengenal dirinya sendiri dan berlaku adil kepada sesama ia akan menemukan semangat baru untuk maju melampaui kekerasan dalam agama.***
Judul : Pada Masa Intoleransi
Penulis : Goenawan Mohamad
Penerbit : IRCiSod (Diva Press)
Cetakan : Cetakan Pertama, Desember 2017
Tebal : 416 halaman
ISBN : 978-602-7696-38-9
Harian Analisa, 12 September 2018