Beragama Tapi Ateis
Semakin berat semakin baik, dalam arti jika keyakinan itu telah hadir dan keraguan tidak ada maka selesailah segala perkara. Aku beribadah maka aku masuk surga. Begitulah jadinya, bubarkan saja sekolah dasar, menengah, atas, tukar menjadi ibadah surga 1, 2, 3 dan lainnya yang menyebabkan manusia pesimis terhadap kreativitas. Jangan bermusik itu haram, jangan seni itu perbuatan setan, jangan mematung karena itu berhala, semuanya dilarang giliran permasalahan surga kita ribut saling sikut dalil rebutan pahala yang paling tinggi.
Ketika kepercayaan akan Tuhan telah mati sebagaimana yang digagas oleh Nietzsche, Eropa berlomba-lomba untuk mengasah nalarnya agar tidak terbebani oleh ketakutan fiksi berupa neraka. Perlahan mereka menjadi rasio dan anti terhadap pemujaan transendental.
Ada yang ganjil dalam konsep beragama sekaligus warga negara. Kita ingin maju tetapi intoleran terhadap kebebasan berpikir.
Orang tidak lagi membahas teori evolusi Dawkins melainkan cari promo traveling ibadah berbasis kapitalis memupuk pahala, karena hanya orang berada yang bisa mendapatkan sensasi ketuhanan, cara berpikir yang dungu menyebabkan seseorang menuhankan agama tanpa mendalami eksistensi kemanusiaan itu sendiri. Manusia bisa bergaul sebagai warga negara untuk menghasilkan keadilan tetapi tidak bisa bergaul untuk menghasilkan kesolehan. Adalah poin penting untuk bersaing secara pemikiran tidak bersaing untuk menambah pahala. Segalanya akan selesai dan berakhir dalam arti pengetahuan itu tidak usah dikembangkan lagi dan biarkan agama menjadi penentu pengetahuan. Istilah ini sudah jauh hari menjadi beban pemikiran bersama dimana manusia berlomba-lomba demi sesuatu yang tak pasti Keberadaannya.
Kalau kita memakai istilah Tan Malaka bahwa Membaca adalah kunci, artinya bahwa tak ada yang namanya segala urusan diserahkan pada kitab suci, seseorang harus rajin menekuni beragam bacaan dan membaca buku-buku lain. Manusia bebas untuk berpikir diluar keyakinan tanpa harus ada intimidasi kafir yang menjadi politik bahasa dalam menjudge kebenaran hakiki.
Seorang Marxist akan mengakui kitab sucinya Das Kapital dan seorang ekonom akan berpegang pada filauf Adam Smith. Iman itu adalah masalah privat, jangan pernah ditanyakan dan jangan pernah diancam seseorang harus santun seperti apa, karena berbeda pandangan yang namanya menghasilkan keadilan dengan menghasilkan kesolehan.
Berpikir artinya bertindak melampaui, ilmu itu mencari dari belakang bukan berharap kedepan. Artinya seorang akademisi akan mencari tahu segala sesuatu dari hukum sebab akibat bukan menyerahkan segalanya kedepan bahwa itu semua urusan yang diatas. Karena akan tumpul nalar dan terjadi kemaksiatan intelektual hanya karena merasa Soleh. Tidak ada yang ganjil dalam agama melainkan orang beragama yang ganjil. Meyakini satu Tuhan dan tidak mengakui Tuhan dari agama yang lain.
Surga adalah hal yang suci dan jangan bawa persoalan surga ke bumi. Jika pikiran seseorang tak kuasa dalam mengkaji dalil sebab akibat maka berpeganglah dia pada suatu keyakinan dimana ia hilangkan semangat intelektual itu dengan memuja sesuatu kekeliruan.
Indonesia adalah negara yang kaya akan suku dan budaya, alangkah lebih bermartabat bila warga negara berfokus kepada filsafat Nusantara dengan mendalami sejarah daerahnya masing-masing karena hanya dengan cara seperti persatuan Indonesia dapat mengikat tanpa mengkotak-kotakkan prinsip kemanusiaan.
Berhenti menciptakan suasana kegaduhan berarti membangun kembali filsafat humanisme yang memfokuskan kemanusiaan tertinggi sebagai nilai keadilan.
Dakwah lawak yang sering kita saksikan videoanya di sosial menunjukkan bahwa rakyat itu terhibur karena tidak diancam dengan ketakutan neraka dan tidak terlalu menghiraukan cepat-cepat mati menuju surga. Dakwah lawak itu adalah pemenang dari kegelisahan yang besar dimana selama ini agama dijadikan alat politisasi yang dimana ketika ia kampanye sibuk memakai pakaian agama agar terlihat santun demi mendulang suara terbanyak. Pemahaman ini harus disadari sesadar-sadarnya agar tidak banyak memakan korban dimana orang sibuk mempertuhankan agama bukan kemanusiaan itu sendiri. Bukan harapan surga yang diidamkan melainkan kepuasan tawa dalam menghadapi eksistensi bahwa tidaklah kesalahan, kalaupun ada kesalahan maka itu bukan sebagai permainan yang dibuat-buat melainkan pembelajaran akan makna menuju keberadaan.
Jauh sebelum para filsuf alam Yunani mulai ada, para petinggi teologi banyak berpihak pada dewa-dewa dimana ada dewa petir, dewa air, dewa tanah, dewa api dan sebagainya. Dewa ada lalu melahirkan anak yang akan menjadi dewa. Para filsuf Yunani yang dasarnya Socrates berhasil memiskinkan keyakinan beragama itu dengan mempertajam pemikiran rasional dimana segala sesuatu dipertanyakan. Maka jika masyarakat pada saat ini tidak lagi percaya pada mitos akan dewa Yunani maka masyarakat akan perlahan meninggalkan harapan tentang penjelasan yang ia tidak tahu. Berpikir mendahului proses keyakinan akan sesuatu bahwa segalanya telah direncanakan. Manusia pertama yang jatuh dari surga sudah direncanakan Tuhan dan itu juga salah Adam, dari pemikiran eksistensialisme itu orang sudah paham bahwa adakalanya meletakkan keyakinan pada dasar pemikiran lebih baik daripada asal meletakkan keyakinan akan harapan akan dunia yang takhayul. ***
Penulis adalah pemikir Filsafat berdomisili di kota Rantauprapat
Tulisan ini pertama kali dimuat Koran Harian Analisa pada hari Rabu, 25 Juli 2018.