Berdikari dalam Keberagaman
Kehendak untuk berdikari bebas diatas dogmatisme para pemuka agama yang seenaknya memaki dengan cacian mengkafirkan harus dilawan dari generasi muda terkhusus kepada generasi milenial yang tengah di mabuk game online. Budak cinta yang tengah dipengaruhi oleh tik-tok sehingga para anak SD dan SMP udah tahu dan pandai untuk memainkannya. Disamping adanya dan timbulnya banyak game online dan aplikasi tik-tok yang merajai menyebabkan para generasi lebih banyak mengkonsumsi sensasi. Keindahan itu tidak timbul karena sensasi, serta fantasi kesenangan itu sudah mendarah daging. Belum lagi siaran dunia industri pertelevisian, maraknya berita online yang menyebarkan kabar hoax membuat para generasi masa kini mudah terdoktrin untuk mengikuti apa yang dikatakan para ulama.
Kalau kita mau jujur, dalam arti mengedepankan kebebasan berpikir memang harus diakui bahwa dalam beragama besar akibatnya membuat wkita menjadi cengeng, mudah menyerah, dan memasrahkan segalanya kepada Tuhan. Termasuk pada hal-hal kecil yang memaksa kita menyerahkan segalanya kepada khayalan angina surga. Kekuasaan tuhan yang maha besar itu bisa berakibat dengan timbulnya kemalasan dari umatnya. Para pemuka agama sebaiknya tidak dianjurkan terlalu cengengesan apalagi menuntut terlalu keras dalam berpolitik.
Diibaratkan ketika seorang filosof berhenti ingin tahu tidak lagi mudah takjub, serta tidak lagi aktif bertanya dan mempertanyakan, dapat dipastikan bahwa ia sudah mandek, mapan, dan tertinggal di belakang atau pension dari dunia filsafat karena dunia filsafat tidak pernah berhenti berjalan dan bertanya. Meskipun akidah lebih merupakan suatu keyakinan tetapi dalam filsafat kita dituntut untuk tidak terburu-buru mempercayai apapun yang kita percayai. Apalagi hanya karena hal tersebut dipercayai oleh banyak orang. Kita harus membuktikan sendiri kebenarannya. Kita harus mencari bukti kebenaran dan ketetapan hal-hal yang ingin kita percayai sebagai yang benar. Ketika kebenaran menjadi sasaran cinta kita, kebenaran akan menjadi nilai tertinggi dalam hidup kita. Demi kebenaran kita rela melakukan apapun, mengobarkan apapun. Segala hal yang tidak berada dalam wilayah kebenaran akan bernilai rendah bagi kita, termasuk kemauan, keinginan, kebutuhan, maupun kepentingan.
Seseorang yang tinggi ilmu agamanya seharusnya jangan merasa paling suci apalagi merendahkan orang yang tidak mengetahui agama dengan sebutan kafir. Karl Marx melihat bahwa agama tidak menjadi dasar penyebab keterasingan manusia. Agama hanyalah gejala sekunder dari keterasingan manusia. Agama semacam menjadi pelarian karena realitas memaksa manusia melarikan diri. Lalu manusia hanya dapat merealisasikan diri secara semu, yakni dalam khayalan agama karena struktur masyarakat nyata tidak mengizinkan manusia merealisasikan diri dengan sungguh-sungguh. Karena dalam masyarakat nyata manusia menderita, manusia lalu mengharapkan mencapai keselamatan dari surga.
Sebagai seorang filosof, tidak seharusnya kita melakukan sesuatu atau melahirkan ide tertentu tanpa alasan atau argument yang jelas. Semuanya harus punya dasar dan bukti atau argument yang memadai. Ketika kita meyakini sesuatu, memiliki bukti yang kuat, sudah menyusun argument, dan memiliki dasar yang layak, ada satu hal lagi yang perlu kita lakukan. Satu hal tersebut adalah usaha mencari pandangan atau pendirian yang berseberangan dengan pandangan kita, lalu menilai pandangan tersebut bersama-sama dengan pandangan kita semula.
Kita harus senantiasa bersifat terbuka, terbuka untuk merevisi pandangan dan memperbaiki diri terus-menerus. Sebuah pemakluman bahwa kehidupan di muka bumi sangat dinamis, senantiasa berubah, bahkan dalam setiap detiknya. Sudah jamak untuk diakui orang bahwa filsafat itu identic dengan keruwetan, jelimet, bahkan menyesatkan. Tidak ada gunanya pikiran kita seratus persen benar, bijaksana, berguna, tetapi hanya kita sendiri yang memahaminya dan tidak seorangpun yang tahu atau bisa memahaminya.
Dalam buku Jejak-jejak Pencarian yang tersisa dari ada yang ditulis oleh Taufiqurrahman diutarakan bahwa keterbukaan terhadap jawaban juga menjadi hal yang mahal bagi kita. Beberapa orang atau kelompok merasa puas dengan satu jawaban, bahkan menganggap jawaban itu sebagai kebenaran tunggal. Konsekuensinya, setiap orang meyakini hal yang berbeda dengannya akan dianggap salah, menyimpang, sehingga harus diluruskan, dan kalau tidak bisa maka harus dimusnahkan.
Orang-orang yang membela mati-matian kebenaran agama yang diyakininya menurut Nietzsche disebut sebagai manusia yang berkehendak cacat, tidak utuh dan terserak. Menurut Nietzsche orang yang beragama memiliki kehendak yang cacat. Semua orang yang masih membutuhkan hal di luar dirinya sebagai pegangan berupa iman, dan membelanya secara mati-matian adalah orang yang cacat atau tidak utuh. Kebutuhan untuk percaya bagi Nietzsche adalah simtom dari apa yang lebih dalam; ketidakutuhan, keterserakan.
Jan Hendrik Rapar menjelaskan dalam buku pengantar Filsafat yang ia tulis mengenai penting nya filsafat, bahwa Filsafat bukan hanya sekedar mendobrak pintu penjara tradisi dan kebiasaan yang penuh dengan berbagai mitos dan mite itu, melainkan juga merenggut manusia keluar dari dalam penjara itu. Filsafat membebaskan manusia dari ketidaktahuan dan kebodohannya. Demikian pula, filsafat membebaskan manusia dari belenggu cara berpikir yang mistis. Sesungguhnya filsafat telah sedang dan akan terus berupaya membebaskan manusia dari kekurangan dan kemisikinan pengetahuan yang menyebabkan manusia menjadi picik dan dangkal. Filsafat pun membebaskan manusia dari cara berpikir yang tidak teratur dan tidak jernih. Dan filsafat juga membebaskan manusia dari cara berpikir tidak kritis yang membuat manusia mudah menerima kebenaran-kebenaran semu yang menyesatkan.
Harian Analisa, 24 Januari 2020