Abdi Mulia Lubis
4 min readApr 13, 2018

Berdikari Progresif

Saya bukanlah ustad yang bisa menenangkan hati sekaligus penyejuk jiwa pembaca dengan menjamin satu dalil bahwa dengan melakukan akti­fitas ibadah seperti ini maka sau­dara pasti saya jamin akan masuk surga. Dan saya bukanlah seorang dukun spesialis ilmu gaib yang berser­tifikat ikatan dukun Indonesia yang bisa membaca perewangan hingga memu­tus­kan dengan tepat secara pasti tanpa pemikiran rasiona­lis serta pengala­man empiris bahwa dengan meminun daun ini dicampur air ini lakukan 3 kali sehari maka saudara saya jamin akan berhasil karir, jodoh dan bisnis saudara akan berjalan sukses.

Ilmu manusia itu kecil, tapi kalau dia sudah merasa paling besar maka keluarlah bongak Wak Labunya untuk menghasut orang bahwa dia memiliki pegangan, entah apala nama pegangan itu bisa jin, malaikat, tuyul dan segalanya.

Sebagai akademisi kita paling anti yang namanya kata takhayul, karena kalau takhayul sudah menyebar maka tumpul dan matilah nalar otak kita tak berfungsi dalam arti manusia itu jarang menggunakan pikiran akibat terpatok pada ilmu jampi-jampi.

Beragama boleh tapi jangan bawa agama di kampus, kenapa saya kata­kan seperti itu ? ya memang pemi­ki­ra­n itu harus terlepas dari keyakinan spritual, memang dibutuh­kan dekon­struksi radikal secara halus dan pemi­sahan antara ilmu dengan agama. Agama menjadi privasi sementara pe­ngetahuan menjadi milik ber­sama. Bayangkan jarak kreativitas yang tertinggal akibat asal ikut meyakini tanpa pernah menimbang secara jeli.

Kelemahan kita ya disitu, bedanya kita pergi ke dokter dengan pergi ke dukun ada perbedaan besar, kalau dokter mengasih arahan untuk pola makan dijaga teratur serta olah raga yang rutin, maka ahli ilmu gaib beda, sang ahli ilmu gaib akan mengatakan bahwa lakukan hal ini saya jamin pasti berhasil. Manusia tidak percaya pada dukun, tapi karena ia terpaksa akan suatu harapan besar yang menggebu-gebu maka ia carilah jalan pintas untuk menjadi pasti. Lihatlah sekarang kita sudah tak butuh mo­tivasi Mario Teguh karena me­mang tak semanis apa yang dikata­kannya, sakit dan geli juga apa yang ia ucap tak sesuai dengan apa yang ia perta­hankan.

Tentunya setiap manusia memi­liki keinginan yang berbeda-beda, ada yang ingin dipuji, ada yang ingin disegani, dan ada yang ingin dipikir­kan. Kita harus tahu dulu kenapa se­seorang tiba-tiba alim apakah kare­na ingin dipuji atau apa ? Tetapi mung­kin berpikiran buruk hanya saja untuk berjaga-jaga. Saya memilih ingin men­jadi seseorang yang dipi­kirkan, di­pikir­kan bukan berarti men­jadi beban pemikiran melainkan kegiatan humanis itu dapat terlaksana dengan adanya gerakan memba­ngun gaga­san.

Memang tak mudah mendapat­kan inspirasi, ide itu rumit diciptakan dan butuh waktu besar. Selalu ada konflik batin dalam dunia penciptaan, maka seorang seniman lebih banyak menger­nyitkan dahi kepala seakan tak puas dengan apa yang telah ia ciptakan.

Ini hanya klarifikasi singkat bukan bermaksud berlagak seperti artis, melihat banyaknya pesan masuk di WhatsApp dan DM Instagram kepada saya yang menayakan siapa juara liga Champions tahun ini dan berapa nomor togel keluar besok ? Saya bukan orang sakti yang bisa prediksi skor dan segalanya berbau prediksi justru membuat hidup saya tidak nyaman.

Indonesia yang begitu makmur bisa hancur dikarenakan banyaknya rakyat yang masih percaya memuja-muja takhayul, sehingga bangsa kita bukannya sibuk bepikir keras melain­kan sibuk dengan putus asa pasrahkan semua kepada yang diatas.

Jika manusia tidak memiliki motivasi untuk berkarya dan berdikari dalam hidup maka pilihan terakhirnya yang ada di bumi ini adalah beribadah mengejar surga.

Saya tidak bermaksud bersikap ekstrem, jadikan ini hanya sebagai pemikiran dan pertimbangan agar setiap usaha yang kita lakukan ini ikhlas tanpa maksud tertentu, seperti yang sering dikatakan para akademisi bahwa Atheis itu humanis tanpa pamrih. Terlahir tanpa menyadari bahwa ia abadi, atau sesuatu yang tak mungkin ada tapi bisa dipuja-puja, berbuat baik tanpa berharap surga. Manusia memiliki motivasi akan se­perti itu, ketika ia lahir tanpa ke­ingi­nan pribadi dan tumbuh besar disaat tua ia ingin abadi, ada semacam rela hadir di dunia tapi tak rela berakhir di dunia. Ngeri bukan ?

Tapi begitulah adanya, lalu kita manusia yang setitik sebuah diantara miliaran galaksi haruskah berkecil hati? Tentu bukan dan janganlah ber­henti untuk terus mencoba berbuat tanpa maksud dipuja-puja. Seperti itulah me­mang pemikiran kita sebagai manusia layak harus dipaksa agar bisa mencari inspirasi yang tepat bagaimana ide itu bisa digapai.

Beriman atau berideologi ? Tentu pembaca dan kita semua sudah sadar bagaimana begitu kentalnya pengaruh Bung Karno, Syahrir dan Tan Malaka hingga sampai saat ini mengalir dalam darah bagai nabi. Kiranya tak berle­bihan agar menjadi pemacu semangat membangun negeri takkala habis dimeriahkan akan sesuatu yang ber­sifat kabar kibul.

Begitu banyak waktu habis dengan perkara-perkara yang menghasilkan kegaduhan sehingga tak ada inspirasi, bangsa ini telah sakit ditebar akan hoax yang asal share tanpa pernah me­mastikan kebenaran tersebut. Me­mang lebih baik diam tapi mem­baca daripada sibuk kasak kusuk tak me­nentu berlagak sebagai penye­bar ke­be­naran. Meluangkan waktu de­ngan berfilsafat lebih baik daripada me­luangkan sensasi yang tak menentu.

Sebagai penutup tulisan ini ada baiknya ditulis salah satu kritik yang harus diberikan kepada pendakwah yang banyak follower tapi gak suka puisi adalah seperti ini: Kalau kamu gak tahu kebe­basan berpikir, seha­rusnya kamu masuk surga saja saat ini, bukan menyalahkan nabi Adam atas dosanya sehingga jatuh ke bumi dengan melahirkan triliunan anak-anak hasil sejarah beribu-ribu abad. ­***

Penulis adalah peminat Filsafat berdomisili di Rantauprapat

No responses yet