Bertumpu pada Kekuatan Argumentasi
Satu-satunya tempat paling bebas di alam semesta adalah ruang kelas, karena disitu seluruh argumentasi bisa terkumpul menghadirkan gagasan-gagasan baru serta percakapan yang bermutu tentang bagaimana menghasilkan keadilan setara di dalam negara. Seluruh pemikiran yang diungkapkan dalam kelas dapat diperdebatkan dan dibantai secara empiris termasuk pikiran tentang surga, alam dan kehidupan.
Tan Malaka sudah jauh hari berpuluh tahun yang lalu di dalam buku yang ia tulis berjudul Madilog bahwa kemerdekaan takkan berkibar bila rakyat Indonesia tak mengedepankan akal dalam mengupayakan kecerdasan. Kita tak mampu berdikari bila masih mempercayai mistik dan takhayul, harus ada gerakan total yang menjembatani pikiran menuju tindakan sehingga kebijaksanaan bisa menjadi pembelajaran bagi diri dan orang yang ada disekitar. Memanusiakan manusia artinya memberikan kebebasan kepada manusia untuk berpikir bebas demi terjadinya dentuman kebingungan yang melahirkan pertanyaan dan solusi yang jitu. Dentuman kebingungan ialah semacam kebangkitan dari keterkejutan yang belum pernah kita rasakan sebelumnya. Misalnya dalam mempelajari hal-hal yang baru manusia itu pada umumnya harus tercengang dulu dalam melihat peristiwa baru ia bisa serius secara cepat dengan keterkejutan dari dentuman kebingungan yang ia alami. Di dalam kelas itu sering terjadi dan dialektika memberi kegembiraan dalam kelas bahwa tidak ada yang perlu dibawa ngantuk dalam belajar bila terlalu serius.
Kadang-kadang orang-orang yang paling dogmatis sekalipun juga merupakan orang-orang yang paling tidak tahu karena harapan itu telah diberikan sepenuhnya pada teologi dalam harapan “ya sudahlah ngapain berkarya mati-matian kalau ujung-ujungnya masuk neraka”. Cara berpikir buntu seperti itulah yang menyebabkan bangsa kita tertinggal jauh. Urusan surga ialah urusan keyakinan sedangkan urusan bumi adalah bagaimana manusia berkarya artinya menggunakan akal dan pikiran untuk berkreasi secara mapan dengan ideologi yang telah diajarkan yaitu Pancasila.
Bagi seorang penganut rasionalisme, ukuran kebenaran ialah kemustahilan untuk mengingkari dan untuk dipahamkan yang sebaliknya. Descartes, bapak rasionalisme kontinental, berusaha menemukan suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan yang darinya dengan memakai metode deduktif dapat disimpulkan semua pengetahuan kita.
Keyakinan akan kepastian surga di depan mata sering sekali membuat seseorang malas untuk memikirkan ulang bagaimana sesuatu yang awalnya ruwet untuk diketahui bisa terjadi dapat dijelaskan secara penalaran empiris. Hilangnya kendali untuk berpikir dan besarnya harapan untuk bersenang-senang adalah faktor utama dari timbulnya rasa paling suci. Ketika seseorang tidak ingin disaingi secara akal maka timbullah sikap pura-pura Soleh agar tidak banyak manusia yang berpikir. Sangat sering kita perhatikan hal tersebut dan tak jarang memang suatu pengalihan kreativitas itu muncul karena tidak ingin dilampaui, sifat tidak ingin disaingi itu merupakan sikap paling serakah, dan merasa diri sendiri bagaikan Tuhan. Seseorang yang tidak ingin disaingi dan menutupi dirinya dalam dialektika maka lebih tepat ia sebagai pemuka agama. Bagi akademisi tidak bisa hanya sekedar mengajar tanpa terbuka untuk dikritik.
Mengingat apa yang dikatakan filsuf Al-Ghazali bahwa takkan ada gunanya bila mencari ilmu hanya untuk sekedar mencari pamor agar merasa paling benar. Moral membawa manusia menunggu yang terjadi di depan sementara pengetahuan membawa manusia mencari dasar segala sesuatu kenapa bisa terjadi dari belakang yaitu sejarah. Masa depan tidak akan pernah kita tahu dengan real tanpa adanya percakapan ide-ide dan diskusi untuk mendapatkan pengetahuan baru. Dalam 20 sampai 30 tahun kedepan bukan teologi yang menjadi peran besar melainkan kecerdasan berpikir dalam mencipta yang menjadi tujuan utama. Manusia harus bisa terlepas dari doktrinasi, keluar dari kungkungan teologis yang mengekang kebebasan berpikir, tidak tertekan dengan ketakutan akan neraka yang menyebabkan beban hasrat semakin besar dan ini memang harus jadi perhatian bagi akademisi untuk segera mencari gejala secara radikal.
Sehingga kemanusiaan itu bisa bebas mencari jati dirinya sesuai dengan bagaimana ia renungkan kehidupan itu secara logis. Bila kita berani sedikit untuk menginterpretasi suatu pertanyaan jika berjumpa dengan Tuhan maka pertanyaan yang diajukan Tuhan bukan lagi kenapa ada dosa melainkan kenapa otak tidak dipergunakan sebaik mungkin.
Misalnya Hak asasi binatang untuk hidup dan bebas di alam sudah menjadi prioritas para pengajar dan hewan serta tumbuh-tumbuhan memiliki perlindungan hukum, baik itu pohon, bunga dan lainnya yang termasuk dalam kategori alam juga memiliki hak perlindungan hukum.
Pertanggung jawaban secara rasional di akhirat nanti belum pernah kita pertanyakan secara empiris demi menegakkan kemanusiaan, misalnya kenapa manusia lebih mengejar pendidikan demi lahirnya pengetahuan baru daripada memupuk pahala demi kebahagiaan surga.
Tentu kita tak mempermasalahkan manusia pertama dan justru bersyukur menghargai iblis sebagai senior karena ia lebih dahulu diciptakan sebagai manusia. Tentu manusia bebas dan memiliki kebebasan untuk berpikir secara eksistensialisme sebagaimana Dostoyevsky, Sartre, Kierkegaard dan filsuf eksistensialisme lainnya dengan membawa manusia untuk keluar dari doktrinasi.
Interpretasi melahirkan cara pandang yang baru, memungkinkan kita untuk merefleksi lebih dalam diluar pemahaman yang telah kita pelajari jauh dari tahun yang lalu. Itu makanya sebutan bergulat dalam diri tanpa akhir yang dijuluki pada seluruh filsuf juga akan menjadi pertimbangan bagi kita untuk mencintai filsafat dan mulai mempelajarinya.
Iblis misalnya sebagaimana pada umumnya kita ditekankan untuk memusuhi sebenarnya akan terasa menjanggal. Harus ada rasa saling menghormati yaitu dengan menghargai, hargailah ia iblis karena dia yang paling utama terlahir. Ibarat antara senior dan junior di dalam kampus misalnya, tidak mungkin senior menghormati yang junior akan jadi timbul yang namanya pemberontakan. Permasalahan kedaruratan bangsa tidak bisa diselesaikan hanya dengan sekedar memperbanyak doa melainkan diskusi analisa sosial secara bersama tanpa membedakan siapa yang besar pahalanya karena sering terlihat rajin ibadah.
Dengan mengedepankan toleransi, dan Toleransi harus berpihak kepada yang tidak beragama bukan hanya untuk yang beragama sehingga menjadikan warga negara yang baik dengan saling menjaga perbedaan tanpa terpancing oleh persaingan berupa ingin cepat-cepat masuk surga.***
Penulis adalah pemikir Filsafat berdomisili di Rantauprapat.
Opini ini dimuat pada hari Rabu, 20 Juni 2018 di Koran Harian Analisa