Abdi Mulia Lubis
4 min readJan 19, 2018

Eksistensialisme Hujan

Hujan itu bagus, namun kalau keseringan hujan maka yang berdam­pak adalah perasaan, sering melamun, gelisah tak karuan hingga memikirkan sesuatu yang diluar batas, maka dari­pada terkungkung dari dilema kena­ngan yang absurd lebih baik fokus untuk bergegas pada pergera­kan yang menyegarkan pikiran, mengerjakan sesuatu yang bisa melawan bayangan kegelisahan dari perasaan itu. Hujan tak bisa disalah­kan namun yang men­jadi pertim­bangan adalah penga­ruhnya bila ia turun setiap hari dalam berbulan-bulan dimulai dari September hingga Desember ini. Jika sediakan payung sebelum hujan, maka sedia­kanlah men­tal sebelum diguyur rasa kekura­ngan padahal segalanya sudah sejalan dengan takdirnya.

Ketika hujan turun secara alami ia menyuburkan tanah, menumbuhkan dan mengembangbiakkan tumbuhan yang ada disekitar, namun dari segi perasaan manusia sulit menolak, ada kenangan yang terlintas tatkala hujan turun, rindu itu seakan hadir seiring dengan genangan hujan yang memba­sahi jalanan, bukan bermaksud sok puitis tapi memang begitu kenyataan­nya, sampai-sampai Wira Negara me­ngatakan hujan itu terdiri dari 1 persen air dan 99 persen kenangan, orang yang dirundung galau bisa baper ba­waannya, apalagi mendengar standup yang dibawa Wira Negara, segala macam benda apapun bisa dijadiin bahan puisi yang membuat para pen­dengarnya klepak-klepek tak karuan.

Yang dipermasalahkan bukan hujan, melainkan kesiapan kita yang mau tak mau tak bisa mengelak dari teduhnya suara hujan itu, jika tak lincah efeknya bisa bikin Mager “Malas Gerak”, orang kalau dah malas gerak bawaannya bisa melow dikamar, dengarin lagu-lagu sedih biar perasaan itu hanyut, suatu rutinitas panjang yang membosankan dan bergerak pun terasa malas ya begitu, manusia kalau sudah melihat hujan maka air matanya juga ingin menetes, cobalah perhatikan teman-teman kita atau lihat status yang ia tulis di media sosial tatkala hujan deras mengguyur, ada yang live­streaming di Instagram sambil putar lagu Judika, ada yang tiba-tiba baper dengerin lagu Payung Teduh - Akad jadi ingin cepat-cepat melamar cewek incarannya, dan macem-ma­cemlah.

Sugesti hujan ini memang kuat pengaruhnya terhadap perasaan, kita yang sudah mengalami banyak pahit kegelapan di masa lalu rasa-rasanya tak ingin lemah gairah semangat hidup, kalau dalam filsafat kita boleh belajar banyak hal na­mun fokus tetap pada penyeimbangan, karena seberat apapun istilah-istilah rumit yang membi­ngung­kan itu mau tak mau harus seim­bang seperti mendayung sepeda. maka kalau sudah tau dikit banyaknya efek hujan tak salah kukuhkan energi untuk ber­hati-hati, menyadarkan diri dari la­munan yang pan­jang, sesaat boleh na­mun jangan berlama-lama terlalu da­lam, ambil nafas untuk merefleksikan perspektif baru.

Di bulan yang memasuki penghu­jung tahun ini memang selalu banyak hal yang dikhawatirkan, beragam bencana alam seakan tiba di penghu­jung tahun, gunung meletus, banjir di berbagai wilayah, lampu padam, po­hon bertumbangan tersapu angin dan beragam hal lainnya membuat kita harus banyak-banyak berdoa, karena tak ada lagi harapan selain meman­jatkan doa kepada Sang Maha Kuasa, mempersiapkan mental agar tak ter­lalu lama termenung, mengantisi­pasi penuh harap yang tak memastikan.

Hujan itu inspirasi, namun kemana inspirasi yang kita bawa bila harus membuat perasaan sedih melulu ? Dalam berkarya yang menjadi ken­dala adalah ketidakmampuan meng­ge­tarkan sang penikmat, me­mang prin­sip manu­sia berbeda-beda ada yang secara halus dan ada yang secara meng­gem­parkan, gempar dalam interpretasi menggerak­kan tanpa harus disuruh. Ada lagi Hujan itu se­perti puisi, ia membuat hati seakan berbunga-bunga, kalau tak bisa mene­tralkannya bisa-bisa bawa­an­nya bikin baper, kemana-mana jadinya ingat seseorang, memi­kirkan sese­orang yang tak memikirkan diri sang pemikir. Ujung-ujungnya adalah patah hati yang berkepanjangan, sudah banyak harapan malah dianya yang berpaling, udah berjuang mati-matian malah ditekong. Ekspektasi yang tak rasional, rasa itu sepenuhnya memang berarti, namun dunia tak seperti dulu, hidup dengan cinta masih bisa makan, kalau sekarang apa-apa sudah mahal dan cinta itu harus sejalan dengan isi kantong, bukan perkara matre atau hidup yang harus mewah-mewah karena adakalanya perasaan itu berkaca pada dunia yang tengah kita hadapi, kalau udah mantap isi kantong, maka mantaplah hubungan percintaan itu.

Ini hanya sekedar mengingatkan bagi mereka yang suka melamun terbawa suasana hujan di musim hujan, bukan menakut-nakuti, ya kalau ada perasaan kepada seseorang ya memang bagus memiliki perasaan, namun hen­daklah menempatkan perasaan dengan situasi, perubahan tatkala dunia ber­gerak tanpa pernah mengingatkan kita, perubahan itu sedikit-demi sedikit membuat kita tak sadar dan menge­jutkan bahwa ada banyak hal yang sudah berlalu tanpa permisi, tugas kita adalah berjuang bersaing dengan negara lain menjadi sang penakluk keje­nuhan, inspirasi yang menggerak­kan yaitu mau tak mau memberi inspirasi sebelum di­beri, tak menunggu inspirasi, karena apa yang bisa dikerjakan yang dige­rak­kan itu baik, karena capek yang terlalu banyak berharap namun tak dianggap.

Aktifitas membunuh kegalauan dengan sering olahraga adalah kiat jitu, selain membakar kalori olahraga juga membakar kegelisahan, mem­bakar sua­tu rasa penyesalan tentang keinginan yang tak tercapai, orang kalau gagal impian­nya tercapai sering menjeru­muskan diri pada dunia kege­lapan, maka melawan dengan tidak ma­suk dunia kegelapan adalah de­ngan olahraga. Ins­pirasi jitu untuk lari dari rasa takut, bu­kan takut dengan anggapan umum bahwa lari dari ke­nyataan, namun takut­lah bila sering mengawang-awang tak menentu. Intelejensi boleh melam­paui namun jangan sampai menyakiti diri sendiri dengan larut pada sepi. Ketika gairah hidup tak kunjung membara, maka barakan api semangat dengan perge­ra­kan pencerahan hari baru, me­nyambut setiap hari seperti menyam­but tahun baru, bukan merasa bere­nergi tat­kala dipenghujung tahun kare­na setiap detik adalah tahun baru bagi jiwa yang suci.

Hari berlalu dengan harapan tak ada yang disesali akan perjalanan ini, sebagaimana hujan yang jatuh mem­basahi bumi, perlahan-lahan hu­jan jatuh menghapus jejak-jejak yang men­jadi beban, takkala hujan meng­hantui perasaan kita dengan rasa sesal, maka mulailah untuk menerima bah­wa setiap kekurangan adalah kenik­matan yang menjadi pengalaman, berbuah dikala disiram, ketika bunga membutuhkan air agar tumbuh, maka pikiran membutuhkan bacaan agar diasah, semakin diasah pikiran itu semakin sadarlah intelijensi kita bah­wa hidup bukan untuk disesali, berani mencintai berarti berani memper­juang­kan tanpa menuntut balasan. ***

Penulis adalah peminat filsafat dan pengamat seni, tinggal di Kota Rantauprapat

Opini saya "Eksistensialisme Hujan" dimuat Harian Analisa pada hari Sabtu, 13 Januari 2018.

http://harian.analisadaily.com/mobile/opini/news/eksistensialisme-hujan/485239/2018/01/13

No responses yet