Entah Apa Yang Merasukimu DPR
DI akhir masa jabatan seharusnya seseorang mampu menempatkan diri untuk memberikan kesan terbaik kepada kekuasaan yang ingin ditinggalkannya agar masyarakat dapat mengenang seseorang yang menjabat itu dengan kenangan yang terbaik, bukan dengan meninggalkan jabatan itu dengan membuat pasal-pasal karet yang justru menghancurkan dan menyusahkan rakyatnya sendiri.
Rakyat memiliki kesadaran dan kepercayaan yang besar terhadap suatu perubahan, tetapi ketika kesadaran dan kepercayaan itu dikhianati dengan ingkar janji maka karma politik akan terus menghantui seorang pejabat yang terus menyusahkan rakyatnya sendiri. Ia akan dibayangi oleh kegalauan terhadap dosa besar yang telah ia perbuat dan ia akan merasa malu dengan dirinya sendiri akibat kegagalannya menepati janji sewaktu kampanye. Dan ia akan merasa gelisah dengan sumpah yang pernah ia ucapkan kepada masyarakat sebelum dan sesudah menjabat. Hartanya memang tak pernah habis tetapi kegelisahannya akan semakin meninggi.
Inilah yang dinamakan dengan karma politik yang mungkin sedikit yang mengetahuinya tetapi banyak sudah para pejabat yang terkena akan karma itu. Memang uang terlihat banyak tetapi keresahan akan terus selalu ia rasakan dan itu layaknya seperti rantai kegelisahan yang terus memberatkan langkahnya kemanapun ia menuju.
Ini negara dalam menuju kegentingan yang besar, yang memiliki kekuasaan dan uang yang berlimpah akan bersikap cuek seakan tak mahu tahu dengan kegentingan yang tengah dialami negara ini. Namun perhatian dan fokus kita sebagai seseorang yang bagaimanapun harus bertanggung jawab atas negara ini tidaklah memikirkan apa status dan jabatan harus terus memperjuangkan masa depan negara ini.
Yang terjadi adalah apakah kita akan terpecah atau kita menikmati satu sama lain ketimpangan ini dengan memakan dan melawan satu sama lain tanpa memperdulikan kesatuan sebagai warga negara Republik Indonesia? Maka jadilah kita pada akhirnya seperti binatang dimana yang besar memakan orang yang sedang, dan yang sedang memakan orang yang kecil sehingga tidak ada lagi yang tersisa diantara kita sebagai bangsa yang pejuang. Memang kiamat itu sudah dekat, bukan kiamat meteor jatuh ke bumi lalu bumi hancur melainkan kiamat yang diperbuat oleh bangsanya sendiri.
Dalam situasi krisis, seorang pemimpin berpikir dan bertindak demi kepentingan umum, demi keselamatan dan kemaslahatan bersama. Sedang seorang pecundang panik mencari selamat, atau paling jauh menyelamatkan diri sendiri atau apa yang dimilikinya.
Orang cerdas berdemonstrasi karena dia tahu alasan dia berdemo, apa yang dia perjuangkan, bagaimana dia berjuang dan untuk siapa dia berjuang. Selebihnya adalah hanya kerumunan yang bising dan tak jelas tujuannya cari sensasi. Memang benar apa yang dikatakan Tan Malaka bahwa Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki pemuda, sementara harta adalah kemewahan terakhir yang harus dimiliki oleh anggota dewan.
Melihat aksi demo yang melimpah belakangan ini menunjukkan manusia tidak ada yang isi kepalanya sama pada tingkat individual. Bahkan ketika mereka berkelompok dan mengusung satu ide besar yang sama, relatif, dan solid pada tingkat prinsipil seperti ideologi-ideologi politik terkemuka yang mengubah dunia. Kita sering berbeda pendapat dengan sesama self-proclaimed libertarian pada tingkat detil meski kita memegang prinsip-prinsip yang sama seputar self-ownership, property ownership, dan voluntary exchange sebagai kerangka filosofis terbaik dalam memanusiakan manusia.
Jika dalam mengusung gagasan-gagasan besar, metanarasi, keragaman pikiran individual dalam kelompok tak terhindarkan, apalagi jika ide yang diusung lebih merupakan respons langsung atas kondisi-kondisi aktual. Demonstrasi beberapa hari ini, misalnya. Istilah “ditunggangi” adalah cara peyoratif untuk mengaburkan makna yang lebih positif dari gerakan sosial sebagai wadah interaksi antar-kepentingan kelompok dan individual yang beragam, namun beraliansi di hadapan kondisi aktual yang direspons.
Jadi sesuai dengan defenisinya, siapa menunggangi siapa tidak pernah jelas sejauh kita mengasumsikan setiap pribadi memiliki independensi relatif dalam berpikir dan mengekspresikan pikirannya melalui sebuah gerakan sosial.
Dalam gerakan “Duduki Wall Street” di AS bertahun-tahun lalu, “kanan” dan “kiri,” libertarian dan Marxist, anarko kapitalis dan anarko sindikalis, menyatu dalam sebuah kelompok besar dengan isi kepala yang berbeda dalam argumen dan agenda, tapi sama-sama melihat masalah big govt. Fenomena mixing ideologi dalam gerakan sosial juga kita lihat dalam demonstrasi Hongkong, yang secara unik menyatukan baik para penyerang maupun pendukung kapitalisme. Siapa menunggangi siapa? Semua peserta aksi saling membutuhkan pada sebuah momen yang spesifik, meski mungkin mereka akan berkelahi lagi ketika momen itu terlewati.
Jadi tidak perlu heran jika ada banyak konten beragam dalam demonstrasi di Senayan beberapa hari ini. Setiap kelompok, bahkan setiap orang, bergerak dengan isi kepalanya, menyampaikan tuntutan atas hal-hal apa yang menurut mereka bermasalah dan bagaimana seharusnya masalah itu diselesaikan.
Sejauh ada kepentingan yang beririsan, tidak ada masalah bila faktanya setiap kita, bahkan dalam keseharian, merelakan diri kita untuk saling menunggangi dan saling memanfaaatkan, demi hal-hal yang dianggap baik dan bermanfaat dalam versi kita masing-masing.
Harian Analisa 28 September 2019