Abdi Mulia Lubis
4 min readOct 11, 2019

Entah Apa Yang Merasukimu DPR

DI akhir masa jabatan seharusnya seseorang mampu menempatkan diri untuk memberikan kesan terbaik kepada kekuasaan yang ingin diting­gal­kan­nya agar masyarakat dapat me­ngenang seseorang yang menjabat itu dengan kenangan yang terbaik, bu­kan dengan meninggalkan jabatan itu dengan membuat pasal-pasal karet yang justru menghan­curkan dan me­nyusahkan rakyatnya sendiri.

Rakyat memiliki kesadaran dan ke­per­cayaan yang besar terhadap sua­tu perubahan, tetapi ketika kesadaran dan kepercayaan itu dikhianati de­ng­an ingkar janji maka karma politik akan terus menghantui seorang peja­bat yang terus menyu­sah­kan rakyat­nya sendiri. Ia akan dibayangi oleh ke­galauan terhadap dosa besar yang te­lah ia perbuat dan ia akan merasa malu dengan dirinya sendiri akibat ke­gagalannya mene­pati janji sewaktu kam­­panye. Dan ia akan merasa ge­lisah dengan sumpah yang pernah ia ucap­­­kan kepada masyarakat se­be­lum dan sesudah menjabat. Hartanya me­­­­mang tak pernah habis tetapi ke­ge­­lisahannya akan semakin me­ninggi.

Inilah yang dinamakan dengan karma politik yang mungkin sedikit yang mengetahuinya tetapi banyak su­dah para pejabat yang terkena akan kar­ma itu. Memang uang terlihat ba­nyak tetapi keresahan akan terus selalu ia rasakan dan itu layaknya seperti rantai kegelisahan yang terus memberatkan langkahnya kemana­pun ia menuju.

Ini negara dalam menuju kegen­ti­ng­an yang besar, yang memiliki ke­kua­­saan dan uang yang berlimpah akan ber­sikap cuek seakan tak mahu tahu de­­ngan kegentingan yang tengah dia­lami negara ini. Namun perhatian dan fo­­kus kita sebagai seseorang yang ba­­­­g­ai­­­manapun harus bertanggung ja­wab atas negara ini tidaklah me­mi­kir­kan apa status dan jabatan harus terus mem­perjuangkan masa depan negara ini.

Yang terjadi adalah apakah kita akan terpecah atau kita menikmati satu sama lain ketimpangan ini dengan memakan dan melawan satu sama lain tanpa memperdulikan kesa­tuan sebagai warga negara Re­publik Indonesia? Maka jadilah kita pada akhirnya seperti binatang di­mana yang besar memakan orang yang sedang, dan yang sedang mema­kan orang yang kecil sehingga tidak ada lagi yang tersisa diantara kita sebagai bangsa yang pejuang. Memang kiamat itu sudah dekat, bukan kiamat me­teor jatuh ke bumi lalu bumi han­cur melainkan kiamat yang diperbuat oleh bangsanya sendiri.

Dalam situasi krisis, seorang pe­mimpin berpikir dan bertindak demi kepentingan umum, demi keselama­tan dan kemaslahatan bersama. Se­dang seorang pecundang panik men­cari selamat, atau paling jauh me­nye­lamatkan diri sendiri atau apa yang dimilikinya.

Orang cerdas berdemonstrasi karena dia tahu alasan dia berdemo, apa yang dia perjuangkan, bagaimana dia berjuang dan untuk siapa dia berjuang. Selebihnya adalah hanya kerumunan yang bising dan tak jelas tujuannya cari sensasi. Memang benar apa yang dikatakan Tan Malaka bahwa Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki pemuda, sementara harta adalah kemewahan terakhir yang harus dimiliki oleh anggota dewan.

Melihat aksi demo yang me­limpah bela­kangan ini menun­juk­kan manu­sia tidak ada yang isi kepalanya sama pada tingkat individual. Bahkan ke­tika mereka berkelompok dan me­ng­usung satu ide besar yang sama, re­latif, dan solid pada tingkat prinsipil se­perti ideologi-ideologi politik ter­kemuka yang mengubah dunia. Kita sering berbeda pendapat dengan se­sama self-proclaimed libertarian pada tingkat detil meski kita meme­gang prinsip-prinsip yang sama se­putar self-ownership, property owners­hip, dan voluntary exchange sebagai kerangka filosofis terbaik dalam memanusiakan manusia.

Jika dalam mengusung gagasan-gagasan besar, metanarasi, keraga­man pikiran individual dalam kelom­pok tak terhindarkan, apalagi jika ide yang diusung lebih merupakan respons langsung atas kondisi-kondisi aktual. Demonstrasi beberapa hari ini, misalnya. Istilah “ditung­ga­ngi” adalah cara peyoratif untuk me­nga­­burkan makna yang lebih positif dari gerakan sosial sebagai wadah in­teraksi antar-kepentingan kelom­pok dan individual yang beragam, na­mun beraliansi di hadapan kondisi aktual yang direspons.

Jadi sesuai dengan defenisinya, siapa menunggangi siapa tidak pernah jelas sejauh kita menga­sum­sikan setiap pribadi memiliki inde­pen­densi relatif dalam berpikir dan mengekspresikan pikirannya melalui sebuah gerakan sosial.

Dalam gerakan “Duduki Wall Street” di AS bertahun-tahun lalu, “ka­nan” dan “kiri,” libertarian dan Marxist, anarko kapitalis dan anarko sin­dikalis, menyatu dalam sebuah kelompok besar dengan isi kepala yang berbeda dalam argumen dan agenda, tapi sama-sama melihat ma­salah big govt. Fenomena mixing ideo­logi dalam gerakan sosial juga kita lihat dalam demonstrasi Hong­kong, yang secara unik menya­tukan baik para penyerang maupun pen­du­kung kapitalisme. Siapa menung­ga­ngi siapa? Semua peserta aksi saling membutuhkan pada sebuah momen yang spesifik, meski mungkin me­reka akan berkelahi lagi ketika mo­men itu terlewati.

Jadi tidak perlu heran jika ada ba­nyak konten beragam dalam de­monstrasi di Senayan beberapa hari ini. Setiap kelompok, bahkan setiap orang, bergerak dengan isi kepalanya, menyampaikan tuntutan atas hal-hal apa yang menurut mereka ber­ma­salah dan bagaimana seharusnya masa­lah itu diselesaikan.

Sejauh ada kepentingan yang ber­irisan, tidak ada masalah bila faktanya setiap kita, bahkan dalam keseharian, merelakan diri kita untuk saling me­nung­gangi dan saling me­man­faaat­kan, demi hal-hal yang dianggap baik dan bermanfaat dalam versi kita masing-masing.

Harian Analisa 28 September 2019

No responses yet