Abdi Mulia Lubis
4 min readOct 10, 2018

Filsafat Menggugat Iman

Pemikiran yang melampaui perasaan bukan berarti se­orang pemikir mati rasa terhadap segala keindahan yang dibe­rikan alam di muka bumi ini. Sama kiranya ketika seorang pe­mikir memaksa diri untuk mempertanyakan kembali segala se­­suatu secara keseluruhan. Seorang pemikir adalah ia yang meragukan bukan berarti membenci, ia bertanya bukan berarti angkuh, ia kritis karena memiliki tanggung jawab sosial beru­pa cinta akan kebijaksanaan, mengu­rai yang tak bisa diterang­kan secara terstruktur oleh iman, mengetahui apa yang ia tidak tahu dan mendalami apa yang telah ia ketahui dan itulah se­babnya filsafat dibutuhkan sebagai pelajaran yang wajib, bu­kan diha­ram­kan sebagaimana yang sering kita dengar di YouTube bahwa banyak para pemuka agama yang mengha­ram­kan belajar Filsafat tanpa penje­lasan dalil satupun.

Dalam pemikiran dan pencarian yang saya tekunj berbulan-bu­lan ini saya mengira bahwa kenapa Filsafat diharamkan lantaran para pemuka agama takut disaingi para pendengar dak­wah secara kecerdasan. Tuhan tak memberi batasan kepada hamba-nya untuk kritis dan mencari, bahkan mengejar ilmu juga merupakan ibadah. Filsafat membutuhkan anali­sis keta­jam­an pikiran tanpa berharap Wahyu. Sederhananya bila kita mem­pelajari agama secara berlebih tanpa ditopang argu­mentasi yang kokoh dari intoleransi maka yang terjadi adalah arus kekerasan radikal sema­kin memuncak. Sebaliknya bila kita belajar filsafat maka yang diasah ada­lah ketajaman pikiran menumpas ke­senjangan sosial. Dan ini menun­juk­kan bahwa keyakinan teologis bila terus dipupuk maka yang didapat adalah keangkuhan merasa paling suci atas ibadah bukan ilmu yang di­tun­tun. Dengan akal sehat kita bisa melihat bahwa fil­­sa­fat memiliki ke­bebasan yang tidak mewajibkan tun­tutlah filsafat sampai ke negeri Yunani, melainkan kenalilah dirimu sendiri dan jangan berlebih-lebihan.

Seorang pejuang dan seorang pemikir adalah seorang pengembara penjelajah pengetahuan, ia tak kan berhenti dan tak cepat puas bila me­nemukan sesuatu yang telah ia dapat. Seperti Tan Malaka yang menga­takan Terbentur, Terbentur, Ter­bentur, Terbentuk. Proses itu lah nilai sejatinya arti kehi­dup­an. Kita baru bisa menikmati estetika hasil secara utuh ha­­nya dengan lewat proses. Bila sesuatu bisa didapat dengan mu­dah maka hilanglah kenik­matan dalam berkarya. Bisa diru­muskan secara psikologis bahwa se­makin berat proses itu dijalani maka semakin besar nikmat dari perjua­ngan proses itu sendiri. Lagi-lagi kita tak kan pernah lupa dengan warisan filsa­fat Tan Malaka: "Sedangkan cara men­dapatkan hasil itu­lah yang lebih penting daripada hasil itu sendiri." Yang me­nyimpulkan bahwa seorang pejuang tidak akan menyerah dengan keadaan, kesulitan bahkan kesusahan yang tengah ia hadapi, seperti Tan Malaka. Ideologi masyarakat kita harus kokoh da­ri cengkraman teologi radikal dan mendekat pada pemikiran kritis berkiblat pada ideologi Rusia yang Revolusi tiada pernah usai.

Saya belajar filsafat bukan karena ingin masuk surga, dan saya belajar filsafat bukan untuk mencaci maki Tuhan dan Aga­ma. Saya belajar filsafat justru untuk melihat secara yang lain lebih dari sekedar rasa ingin. Kita menyadari ketidak­sem­purnaan dan kita melihat waktu yang menipis dan kesempatan terbuka lebar. Tujuan filsafat adalah untuk mema­ha­mi dunia dan tempat kita di dalamnya, dan untuk me­nentukan metode yang tepat dalam mengem­ban suatu tugas.

Pada tahun 1930-an, teolog Ame­rika ReinholdNiebuhr me­minta Tuhan untuk memberikan kita kete­na­ngan untuk meneri­ma hal-hal yang tidak dapat kita ubah, keberanian untuk me­ngu­bah hal-hal yang kita bisa, dan kebijaksanaan untuk me­nge­­tahui perbedaannya. Tentu tang­ga­pan itu adalah suatu ke­pas­rahan tanpa perjuangan filosofis. Dan untuk memahami dunia, yang kita butuhkan adalah ketenangan untuk menerima hal-hal yang tidak dapat kita pahami, keberanian untuk meng­ana­lisis hal-hal yang dapat kita lakukan, dan ke­bijaksanaan un­tuk mengetahui perbe­daannya. Ketika datang untuk meni­lai cara kita memperoleh penge­ta­huan dan berusaha melawan ba­tas-batas kejelasan, kita harus melihat ke filsafat untuk men­dapat bimbingan rasional.

Thomas Nagel berpendapat bah­wa ketika kita merasakan bahwa sesuatu atau segalanya dalam hidup itu tidak masuk akal bila cepat me­nyerah, kita mengalami benturan dua pers­pek­tif untuk melihat dunia. Salah satunya adalah agen yang terlibat, melihat hidupnya dari dalam, dengan jantungnya ber­ge­tar di dada­nya. Yang lainnya adalah penonton yang terpisah, mengamati aktivitas ma­nusia dengan tenang, seolah-olah dari jarak planet lain. Nagel mencatat bah­wa itu adalah sifat kita untuk mem­balik di antara sudut pandang ini. Suatu saat kita benar-benar ter­pe­rangkap di kelas budidaya jamur kita, kegi­laan kita dengan suami sau­dara perempuan kita atau per­juangan keras kita dengan Terri dalam bidang akuntansi. Saat beri­kutnya, tektonik mental kita bergeser dan kita melihat diri kita sendiri dari keletihan emo­sional, seperti roh yang mela­yang di atas tubuhnya sendiri. Menjadi jelas bagi kita bahwa perasaan absurditas kita muncul ketika kita membolak-balik antara dua perspektif ini dengan cepat, dalam semacam gerak­an kelinci-kelinci. Rasa absurditas bergantung pada ketidak­stabilan ini. Jika kita dapat mempertahankan perspektif internal selamanya, kita tidak akan pernah mengalami kejutan ke­raguan tentang apakah yang kita lakukan pada akhirnya berharga atau masuk akal.

Dalam Mitologi Yunani menga­takan bahwa Zeus dan Po­se­idon, dua dewa terbesar, bersaing mempere­butkan tangan The­tis sang dewi. Tetapi ketika mereka mendengar ramalan bahwa Thetis akan melahir­kan seorang putra yang lebih kuat dari ayahnya, keduanya mengun­dur­kan diri. Karena para dewa berencana untuk bertahan selamanya, mereka tidak menginginkan keturu­nan yang lebih kuat untuk bersaing dengan mereka. Jadi Thetis menikah dengan seorang manusia, Raja Pe­leus, dan melahirkan Achilles. Manu­sia mela­kukan seperti anak-anak mereka untuk lebih cemerlang dari mereka. Mitos ini mungkin menga­jarkan kita sesuatu yang penting. Au­tok­rat yang berencana untuk meme­rintah sela­manya tidak suka mendo­rong lahir­nya ide-ide yang mungkin meng­gantikan mereka seperti itulah aga­ma. Para Nabi tak ingin diganti de­ngan para cendekiawan modern. Dan demokrasi liberal menginspirasi terciptanya visi baru, bahkan dengan harga mempertanyakan dasar mereka sendiri.

Harian Analisa, 10 Oktober 2018

No responses yet