Filsafat Menggugat Iman
Pemikiran yang melampaui perasaan bukan berarti seorang pemikir mati rasa terhadap segala keindahan yang diberikan alam di muka bumi ini. Sama kiranya ketika seorang pemikir memaksa diri untuk mempertanyakan kembali segala sesuatu secara keseluruhan. Seorang pemikir adalah ia yang meragukan bukan berarti membenci, ia bertanya bukan berarti angkuh, ia kritis karena memiliki tanggung jawab sosial berupa cinta akan kebijaksanaan, mengurai yang tak bisa diterangkan secara terstruktur oleh iman, mengetahui apa yang ia tidak tahu dan mendalami apa yang telah ia ketahui dan itulah sebabnya filsafat dibutuhkan sebagai pelajaran yang wajib, bukan diharamkan sebagaimana yang sering kita dengar di YouTube bahwa banyak para pemuka agama yang mengharamkan belajar Filsafat tanpa penjelasan dalil satupun.
Dalam pemikiran dan pencarian yang saya tekunj berbulan-bulan ini saya mengira bahwa kenapa Filsafat diharamkan lantaran para pemuka agama takut disaingi para pendengar dakwah secara kecerdasan. Tuhan tak memberi batasan kepada hamba-nya untuk kritis dan mencari, bahkan mengejar ilmu juga merupakan ibadah. Filsafat membutuhkan analisis ketajaman pikiran tanpa berharap Wahyu. Sederhananya bila kita mempelajari agama secara berlebih tanpa ditopang argumentasi yang kokoh dari intoleransi maka yang terjadi adalah arus kekerasan radikal semakin memuncak. Sebaliknya bila kita belajar filsafat maka yang diasah adalah ketajaman pikiran menumpas kesenjangan sosial. Dan ini menunjukkan bahwa keyakinan teologis bila terus dipupuk maka yang didapat adalah keangkuhan merasa paling suci atas ibadah bukan ilmu yang dituntun. Dengan akal sehat kita bisa melihat bahwa filsafat memiliki kebebasan yang tidak mewajibkan tuntutlah filsafat sampai ke negeri Yunani, melainkan kenalilah dirimu sendiri dan jangan berlebih-lebihan.
Seorang pejuang dan seorang pemikir adalah seorang pengembara penjelajah pengetahuan, ia tak kan berhenti dan tak cepat puas bila menemukan sesuatu yang telah ia dapat. Seperti Tan Malaka yang mengatakan Terbentur, Terbentur, Terbentur, Terbentuk. Proses itu lah nilai sejatinya arti kehidupan. Kita baru bisa menikmati estetika hasil secara utuh hanya dengan lewat proses. Bila sesuatu bisa didapat dengan mudah maka hilanglah kenikmatan dalam berkarya. Bisa dirumuskan secara psikologis bahwa semakin berat proses itu dijalani maka semakin besar nikmat dari perjuangan proses itu sendiri. Lagi-lagi kita tak kan pernah lupa dengan warisan filsafat Tan Malaka: "Sedangkan cara mendapatkan hasil itulah yang lebih penting daripada hasil itu sendiri." Yang menyimpulkan bahwa seorang pejuang tidak akan menyerah dengan keadaan, kesulitan bahkan kesusahan yang tengah ia hadapi, seperti Tan Malaka. Ideologi masyarakat kita harus kokoh dari cengkraman teologi radikal dan mendekat pada pemikiran kritis berkiblat pada ideologi Rusia yang Revolusi tiada pernah usai.
Saya belajar filsafat bukan karena ingin masuk surga, dan saya belajar filsafat bukan untuk mencaci maki Tuhan dan Agama. Saya belajar filsafat justru untuk melihat secara yang lain lebih dari sekedar rasa ingin. Kita menyadari ketidaksempurnaan dan kita melihat waktu yang menipis dan kesempatan terbuka lebar. Tujuan filsafat adalah untuk memahami dunia dan tempat kita di dalamnya, dan untuk menentukan metode yang tepat dalam mengemban suatu tugas.
Pada tahun 1930-an, teolog Amerika ReinholdNiebuhr meminta Tuhan untuk memberikan kita ketenangan untuk menerima hal-hal yang tidak dapat kita ubah, keberanian untuk mengubah hal-hal yang kita bisa, dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaannya. Tentu tanggapan itu adalah suatu kepasrahan tanpa perjuangan filosofis. Dan untuk memahami dunia, yang kita butuhkan adalah ketenangan untuk menerima hal-hal yang tidak dapat kita pahami, keberanian untuk menganalisis hal-hal yang dapat kita lakukan, dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaannya. Ketika datang untuk menilai cara kita memperoleh pengetahuan dan berusaha melawan batas-batas kejelasan, kita harus melihat ke filsafat untuk mendapat bimbingan rasional.
Thomas Nagel berpendapat bahwa ketika kita merasakan bahwa sesuatu atau segalanya dalam hidup itu tidak masuk akal bila cepat menyerah, kita mengalami benturan dua perspektif untuk melihat dunia. Salah satunya adalah agen yang terlibat, melihat hidupnya dari dalam, dengan jantungnya bergetar di dadanya. Yang lainnya adalah penonton yang terpisah, mengamati aktivitas manusia dengan tenang, seolah-olah dari jarak planet lain. Nagel mencatat bahwa itu adalah sifat kita untuk membalik di antara sudut pandang ini. Suatu saat kita benar-benar terperangkap di kelas budidaya jamur kita, kegilaan kita dengan suami saudara perempuan kita atau perjuangan keras kita dengan Terri dalam bidang akuntansi. Saat berikutnya, tektonik mental kita bergeser dan kita melihat diri kita sendiri dari keletihan emosional, seperti roh yang melayang di atas tubuhnya sendiri. Menjadi jelas bagi kita bahwa perasaan absurditas kita muncul ketika kita membolak-balik antara dua perspektif ini dengan cepat, dalam semacam gerakan kelinci-kelinci. Rasa absurditas bergantung pada ketidakstabilan ini. Jika kita dapat mempertahankan perspektif internal selamanya, kita tidak akan pernah mengalami kejutan keraguan tentang apakah yang kita lakukan pada akhirnya berharga atau masuk akal.
Dalam Mitologi Yunani mengatakan bahwa Zeus dan Poseidon, dua dewa terbesar, bersaing memperebutkan tangan Thetis sang dewi. Tetapi ketika mereka mendengar ramalan bahwa Thetis akan melahirkan seorang putra yang lebih kuat dari ayahnya, keduanya mengundurkan diri. Karena para dewa berencana untuk bertahan selamanya, mereka tidak menginginkan keturunan yang lebih kuat untuk bersaing dengan mereka. Jadi Thetis menikah dengan seorang manusia, Raja Peleus, dan melahirkan Achilles. Manusia melakukan seperti anak-anak mereka untuk lebih cemerlang dari mereka. Mitos ini mungkin mengajarkan kita sesuatu yang penting. Autokrat yang berencana untuk memerintah selamanya tidak suka mendorong lahirnya ide-ide yang mungkin menggantikan mereka seperti itulah agama. Para Nabi tak ingin diganti dengan para cendekiawan modern. Dan demokrasi liberal menginspirasi terciptanya visi baru, bahkan dengan harga mempertanyakan dasar mereka sendiri.
Harian Analisa, 10 Oktober 2018