Abdi Mulia Lubis
5 min readFeb 15, 2020

Idealisme Versus Realitas

Idealisme ini janganlah pernah cepat luntur diterkam ganasnya perubahan zaman yang begitu cepat pesat. Ketika lajunya perkembangan teknologi yang dapat menyingkirkan semua yang bisa dikerjakan manusia hingga ada prediksi asumsi bahwa tak ada yang bisa dikerjakan manusia dalam upaya mencari rezeki dimasa datang, maka semoga cepat ditemukan kembali solusi terbaik bagaimana masa depan manusia kedepannya bisa berjalan. Sebab masa depan yang kita perbincangkan bukan lagi masa depan mengenai surga dan neraka melainkan masa depan bagaimana manusia bisa bertahan di bumi ini dengan memiliki pekerjaan, dan bagaimana agar alam ini bisa lestari hijau dan bersih nan sejuk, itulah jati diri manusia yang sesungguhnya.

Saya merasa ketakutan bila memprediksi masa depan manusia dan saya merasa takut bila dalam suatu gambaran ada suatu bayangan buruk yang terjadi kepada manusia pada nantinya. Saya takut manusia tak berdaya dan teknologi lebih maju dari manusia sehingga dengan kemudahan dan canggihnya teknologi tidak ada lagi yang bisa dikerjakan oleh manusia. Humanisme mati berkat teknologi yang diciptakannya dan itu suatu ketakutan yang terbayang dipikiran saya. Saya membaca ke 3 buku karya dari Yuval Noah Harari dan saya selalu merinding membaca bagaimana prediksi beliau mengenai masa depan yang akan terjadi terhadap manusia kedepan dan saya selalu jantungan bila membaca halaman demi halaman dari karya Yuval Noah Harari.

Soal rasa itu sangat penting untuk ditumbuhkan di dalam diri, bahkan dikala ketidakberdayaan dalam menjalani kehidupan itu seseorang sangat membutuhkan yang namanya rasa agar tidak mati warna-warni di dalam kehidupan. Orang salah melangkah bila ia tak memiliki cinta terhadap seni di dalam hidup, orang akan terasa tersiksa batinnya bila tidak mendengarkan musik setiap harinya dan rasa itu adalah sangat penting bagi sejarah kehidupan manusia karena ia melekat di dalam kesadaran diri setiap manusia.

Ketika harapan terlihat seakan tidak ada, dan arah yang begitu kabur terlihat di depan semoga diri tetap kuat menghadapi menahan rasa hausnya keinginan untuk merasakan nikmatnya bisa mendapat segala sesuatu. Idealisme itu ingin bertahan tetapi rasa itu tidak bisa dipungkiri keberadaannya dan ia terus menumbuh dalam setiap waktu hingga seseorang bisa merasakan gejolak peperangan di dalam diri antara idealisme versus realitas. Keadaan itu yang memiliki pengaruh besar terhadap hancurnya suatu idealisme, keadaan itulah ujian terbesar yang dimiliki oleh seseorang, dan sering sekali idealisme itu akan pudar bila seseorang menduduki kursi suatu jabatan. Tidak usah munafiklah bila kita bicara mengenai kekuasaan begitulah banyak isu yang menyebar di kalangan diskusi kemasyarakatan.

Keadaan memberikan pembelajaran kepada kita untuk bergegas lebih cepat dari apa yang bisa diperjuangkan saat ini. Ketika ketimpangan yang begitu besar saat ini banyak membuat umat mengeluh, dan mengeluh sudah tidak menjadi zamannya lagi, waktu memberi sinyal ilham bahwa ada pesan yang begitu besar kepada kita bahwa mau tidak mau kita harus bergerak memperjuangkan nasib bumi ini di masa mendatang.

Seorang idealis harus berdarah-darah memikirkan problem ketimpangan sosial yang tengah menimpa negara ini, tak usah jauh jauh langsung ke negara tetapi coba dulu perjuangkan daerah tempat tinggal yang ada. Melihat dari keseluruhan dan mengorbankan tenaga pikirannya untuk mencari jalan tengah kepada kemanusiaan itu sendiri. Seorang idealis tak bisa larut berjam-jam terperdaya di dunia internet, seorang idealis tak bisa tunduk kepada apa yang menjadi viral di media sosial lalu menjadikan sosmed itu sebagai ajang tempat penghabisan waktu semata. Seorang idealis berdiri, melihat dan bergerak sepenuhnya untuk keadilan masyarakat itu sendiri dan itulah konsep juang utama idealisme yang terus dipegang oleh Tan Malaka. Ia yang berjuang tanpa pernah memikirkan dirinya tetapi sepenuhnya berjuang dan berpikir demi kemaslahatan negara bangsa Indonesia.

Dunia ini membutuhkan para pemikir dan pejuang yang siap dan itu ada pada setiap kesadaran kemanusiaan yang tulus. Dalam dunia diskusi di warung kopi banyak aspirasi yang terucap dan ini bukan sekedar kombur malotup yang sering terjadi. Tinggal seseorang itu sendiri bagaimana mendefinisikan keseriusannya itu melihat banyaknya tanggapan isu miring dan ketawa terbahak yang tak jelas. Diskusi itu memang dibutuhkan, disatu sisi mempererat keakraban dan merakit kembali segala impian agar bisa terwujud dengan kesama rataan.

Tantangan Bangsa

Tantangan terbesar masyarakat kita khususnya sebagai bangsa Indonesia hari ini adalah persoalan oligarki dan radikalisme yang mewabah. Yaitu, menumpuknya kekuasaan dan kekayaan di tangan elite minoritas di tengah mayoritas rakyat yang tak berdaya dan miskin kelaparan. Serta menguatnya gerakan formalisme agama radikal yang acap, pada titik kulminatif, menumpahkan darah perbedaan atas dasar imajinasi terwujudnya negara ilahi dan surgawi.

Yang saya lihat dari persoalan di atas, saya pikirkan tidak akan bisa diselesaikan sekadar dengan slogan “kerja, kerja, kerja semata", yang entah berapa ribu kali disuarakan oleh pemerintah pusat. Sebelum bekerja, ada baiknya bila benar-benar “berpikir” fokus kepada apa yang mau dikerjakan. Jangan sampai kerja keras itu berakhir dengan kesia-sian, karena tak didahului perenungan yang matang secara logija. Seperti pesan Sokrates: “hidup yang tidak direnungkan tak layak dijalani." Saya mendalaminya dan berupaya untuk memaknai utuh.

Lalu pertanyaannya kira-kira apa yang penting dikerjakan oleh pemerintah pusat ke depan dengan segala beban persoalan yang ditanggungnya termasuk agama? Menurut pemikiran saya kerja utama pemangku kepentingan negeri ini adalah menciptakan keadilan sosial yang merata yaitu fokus kepada keadilan maka kesejahteraan dapat terwujud. Bagaimana mewujudkannya? Ada baiknya bila berkenaan keadilan sosial ini kita melirik pada pemikiran John Rawls, dia mengatakan bahwa "keadilan itu prinsip utamanya adalah kebebasan." Artinya, pemerintah harus benar-benar serius mewujudkan kebebasan dasariah masyarakat yang meliputi kebebasan berpikir, berbicara, berkumpul, dan lain sebagainya. Kebebasan itu harus dijamin sejauh tidak mengurangi kebebasan yang lain sesama warganegara.

Prinsip yang kedua saya kira adalah berkenaan realitas perbedaan sosial ekonomi masyarakat. Pemerintah dan negara secara utuh harus memastikan dan meneguhkan bahwa perbedaan itu boleh terjadi dengan catatan bahwa rakyat miskin diuntungkan secara sosial dan ekonomi. Artinya bahwa, pemerintah benar-benar patuh berpihak pada “wong cilik” yang mayoritas, bukan hanya janji-janji yang tak pernah ditepati.

Akhirnya, bila keadilan sosial itu benar-benar terwujud secara perlahan oligarki dan radikalisme akan mati dengan sendirinya. Secara bertahap kekuasaan dan kekayaan akan menyebar rata bagi warganegara. Dengan pemerataan ekonomi, masyarakat tidak akan melirik gerakan radikal yang berjualan 'kesejahteraan' di dunia lain, di surga esok hari karena itu guyonan ustad Wak labu semata. Kerja model seperti itulah yang diharapkan oleh rakyat. Bukan kerja ribut bagi-bagi kue kekuasaan dengan menjilat lawan dimasa rival terkuat.

Harian Analisa, 12 Februari 2020

No responses yet