Intelektual Humaniora dalam Penulisan

Abdi Mulia Lubis
3 min readAug 6, 2016

--

Sebuah kecerdasan dan kebi­jaksanaan yang disusun halus dalam mengupayakan terwujudnya keadilan sosial.

Penerbit Jalasutra kembali men­cetak buku-buku antic koleksi jalasutra demi memenuhi kebutuhan para pembaca akan budaya dan makna. Ada sekitar 140 an judul buku yang dicetak kembali salah satunya ialah buku Writing and Being, karya Nadine Gordimer peraih nobel sastra pada tahun 1991. Saya kepikiran mem­baca sinopsis buku tersebut “Untuk siapa anda menulis ?” perta­nyaan yang memilki banyak keturu­nan pada sinopsis buku dari manakah karakter dalam fiksi itu muncul? Apakah penulis harus berpijak pada realitas terdekatnya, berpihak pada keprihatinan yang dialami bangsanya, ikut serta menen­tukan arus perubahan kondisi sosial masyarakatnya? Apakah penulis harus memiliki kesadaran politik atau revolusi? Apakah tulisan memang benar-benar memiliki makna bagi Masyarakat dan pembaca yang tengah mengalmi ketidakadilan, keprihatinan, penin­dasan, atau kesewenang-wenangan ? Sumbangsih apakah yang wajib dibe­rikan penulis kepada umat manusia ?

Writing and Being berisi rang­kaiaan pidato kuliah yang diberikan pada 1994. Pidato ini merupakan pengantar yang bagus dalam mema­hami kritik-kritiknya dalam penuli­san. Oleh penulisnya pidato itu diberi judul Writing and Being (Tulisan dan Ada). menggambarkan pijakan semangat yang dibawa dalam karya-karya fiksi, dan sikapnya terhadap dunia penulisan, baik perhatiannya terhadap sesame penulis yang menga­lami penindasan maupun makna penulisan bagi peradaban manusia.

Menurut Nadine Gordimer, se­orang penulis harus terus menggu­nakan hak untuk berbicara tentang kesulitannya, sebagaimana pendirian dan kritiknya terhadap ketidakadilan yang dia saksikan dalam realitasnya, begitu juga dengan jiwa fiksi yang dibuatnya. Seperti yang ia kutip dari pernyataan Gabriel Garcia Marquez bahwa penulis harus mengambil hak untuk mengeksplorasi, termasuk kekurangan, kesalahan, dan kerugian­nya-baik musuh maupun kawan se­perjuangan tercinta, karena hanya usaha demi kebenaran membuat ada masuk akal.

Nadine Gordimer lahir pada 20 November 1923 di springs, Trans­vaal, Afrika Selatan. Dikenal karena me­nulis banyak sisi rasisme beserta dampaknya pada individu dan Ma­sya­rakat, kekuatannya ialah pada ke­da­laman wawasan, kekuatan dialog tokoh realistic, tulisan yang hidup, dan gaya ironisnya terhadap keti­dak­adilan sosial di Afrika Selatan karena penerapan politik Apartheid. Apar­theid adalah sistem pemisahan ras yang diterapkan oleh pemerintah kulit putih di Adrika Selatan dari tahun 1930 hingga tahun 1990.

Di buku ini terdiri enam esai pan­jang, Nadine Gordimer memilih dan meri­set penulis dan karya yang menu­rutnya sejalan dengan panda­ngannya, terutama adalah Naguib Mahfouz dari Arab, Chinua Achebe dari Afrika, dan Amos dari Yahudi. Di tiga esai lainnya dia menulis bera­gam topik yang me­miliki hubu­ngan dengan keyakinan­nya antara lain tentang tulisan dan realitas, fiksi dengan revolusi, dan Makna tanah air dan kebangsaan di zaman posko­lonial yang dialaminya.

Dalam The Nature of Existence ia berpendapat bila si penulis tidak ber­tanggung jawab terhadap karya tulis­nya, bila ia tidak ada di dalamnya, maka harus dipertanyakan apakah “Pluralitas” yang membentuk tulisan mereka bisa dikomposisikan oleh Her­­meneutika dari satu individu untuk kita semua.

Di sisi lain, bila si penulis adalah satu-satunya yang ada di dalamnya, dirinya sendiri adalah karakter-ka­rakter ciptaanya, dan pengala­man­nya adalah sumber yang cocok dari se­mua karya fiksinya, maka tidak akan ada tempat dalam literatur untuk keragaman umat manusia dengan kontradiksi liarnya. Menggunakan fiksi untuk tujuan yang sebenarnya, yaitu penemuan dari pendataan dari dunia kita.

Sebagai seorang pemikir cepat yang pragmatis dengan motivasi ideo­logis yang timbul dari kepe­kaannya akan ketidakadilan yang harus dicari jalan keluarnya. Sikap tegas Nadine Gordi­mer melawan ketidakadilan dan k­e­pri­ha­­ti­nan yang terjadi disekitar kehidupan­nya, dan dimana pun itu itu terjadi sangat beresiko bagi siapa­pun, termasuk seorang penulis. Risiko itu bentuknya macam-macam, dari yang bisa dikate­gorikan “ringan”, misalnya sebuah karya di­larang beredar atau disensor, sampai yang dikategorikan berat, antara lain di­penjara, diculik, diancam hukuman ma­ti, diasingkan, bahkan dibunuh, baik te­rang-terangan maupun rahasia. Dan Na­dine Gordimer tak luput dari sensor itu.

Dalam buku ini kita akan bisa merasakan wawasan, pendirian, dan idealism Nadine Gordimer terhadap yang dinamai sebagai Writing and Being. Dia berusaha hati-hati dan mendalam mengin­terpretasikan karya penulis lain, selain itu dia membukakan jendela bagi kita tentang sejumlah topic yang menarik diperhatikan, mulai dari pertautan tulisan dan revolusi, sampai keteganga penulis antara penga­laman penulis dengan penciptaan tulisan. Pada Bab 4, Nadine membahas sisi tersem­bunyi Trilogi Cairo Mahfouz dan me­ngutip puisi yang ditulis oleh Proust :

Jangan takut untuk melangkah terlalu jauh, karena kebenaran terletak lebih jauh lagi.

Peresensi: Abdi Mulia Lubis

Judul Buku : Writing and Being
Penulis : Nadine Gordiner
Penerbit : Jalasutra
Tahun Terbit : Cetakan Mei 2016
Tebal : 260 halaman

Tulisan versi online resensi buku Koran Analisa bisa juga anda baca dengan mengklik link berikut ini : http://harian.analisadaily.com/mobile/resensi-buku/news/intelektual-humaniora-dalam-penulisan/254116/2016/08/03

Dimuat pertama kali di Koran Harian Analisa pada Hari Rabu, 3 Agustus 2016 :

--

--

No responses yet