Abdi Mulia Lubis
4 min readFeb 15, 2020

Kerasukan Fanatisme Dogma Agama

Para pemuka agama kian mera­da­ng beringas dalam bersuara tak pe­duli kebencian segala sesuatu di­per­buatnya karena keyakinan takhayul yang tak pernah dipertimbangkan. Su­ka mencari kesalahan orang lain tetapi tidak pernah introspeksi akan kesa­lahannya sendiri begitulah yang ia perbuat yaitu sibuk bersuara tapi lupa berkaca. Hatinya telah buta diselimuti agama, akalnya telah hilang dibuat penyalahan tafsir di dalam kitab suci.

Hidupnya gelisah karena selalu mencari kesalahan orang lain bukan menanamkan kebaikan pada orang lain, itulah ciri khas pemuka agama radikal masa kini. Yaitu merasa paling suci padahal masih banyak tugas pokok yang harus dikerjakan demi keberagaman. Dan pada prinsipnya orang yang baik itu adalah orang yang tak mau dipuji segala kebaikannya karena ia tahu bahwa di dalam hatinya ketulusannya ia berbuat kebaikan hanya untuk dilihat kepada Tuhan yang maha esa semata. Begitulah niat kebaikan yang tulus ia tidak diumbar demi pujaan melainkan sudah menjadi impian di hati orang banyak.

Kita melihat para pemuka agama pada masa kini memang sesukanya melewati batas dalam bersikap, ia selalu menjadi asal-asalan dalam berceramah dan tak menemukan satu konteks terbaik dalam menyuarakan perdamaian. Yang ada dipikirannya adalah bersikap rasis radikal kepada kaum minoritas dan tak peduli pada keutuhan berinteraksi antar warga yang berbeda, hatinya telah terselimuti oleh dendam brutal akan peperangan dan kebencian yang berlebih untuk menegakkan khilafah yaitu hanya boleh ada satu agama dalam negeri ini dengan sistem khilafah.

Betapa hancurnya bila ada pe­mak­sa­an doktrin agama seperti itu, betapa rusaknya demokrasi di negara ini bila kita terus bersikap angkuh tak jelas hanya karena surga yang masih jauh kepastiannya. Betapa dangkalnya cara berpikir bila meletakkan keyakinan di atas kecerdasan berpikir. Jadinya ulama kita kesakitan sibuk mengurus halal dan haramnya, sementara para ustadz nya sibuk menyuarakan kafir dan neraka jahanam lainnya.

Ini tidak bisa dibiarin, generasi kita harus bisa diarahkan ke jalan pendidi­kan serta idealisme yang lurus bukan kepada jalan agama yang penuh dengan kekerasan serta kebencian. Hendaknya sebelum belajar agama diajarkan dulu generasi kita pendidi­kan yang baik itu bagaimana belajar sopan santun tumbuhkan daya kritis di tengah masyarakat lalu setelah itu barulah tiap diri seseorang itu mampu dan bisa membedakan hingga menen­tukan jalannya sendiri dengan pe­mikirannya masing-masing tanpa harus dikekang oleh aturan agama. Sudahlah kita tidak bisa lagi me­nganggap ceramah radikal adalah hal sepele karena itu sangat memberi pengaruh besar bagi kehancuran idealisme kaum pemuda. kita dibuat dungu, kebencian terus digencarkan, tak ada perdamaian ulah dari para pemuka agama pencari sensasi.

Seorang ulama sebaiknya jangan diberikan kebebasan seperti raja seolah-olah dia memiliki kekuatan besar mengatur apa yang menjadi jalan hidup orang lain. Seorang ustadz seharusnya paham tugas utamanya adalah mendidik akhlak para pen­dengar­nya bukan memaksakan anak didiknya masuk ke politik dengan cara bela agama.

Seorang pemuka agama harus tahu diri yaitu tidak mengatakan pilihan yang diluar Islam dengan sebutan kafir dan seorang ulama harus tahu diri untuk tidak berpolitik dengan rasa kebencian yang brutal. Inilah dasar pemikiran yang harus digencarkan kepada generasi kita saat ini agar tidak terjerumus pada paham pemuka agama yang melampaui batas. Meng­ingat bahwa modal terbaik yang harus dimiliki generasi adalah kreativitas agar bisa bersaing dengan negara lain maka tidak ada cara selain menum­buhkan sikap kritis terhadap ma­sya­rakat dengan mempertanyakan segala sesuatu yang dipaksakan oleh para ulama.

Sebagai bangsa yang besar kita harus berusaha fokus mencari inspi­rasi, menumbuhkan ketajaman ana­lisis, bukan dengan memperbesar keyakinan surga dengan menyalahkan keyakinan iman orang lain. Jangan pernah merasa paling suci jika tak mampu introspeksi diri itulah sejati­nya hidup yaitu berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan. Jangan pula berbuat kebencian, itu bukan kebaikan namanya.

Kalau yang dibuat kebencian dan kekerasan bisa dijadikan itu seseorang kerasukan fanatisme dogma agama. Yaitu orang fanatik dalam beragama tidak menggunakan akal pikirannya dalam berbuat, segala sesuatu dibuat­nya hanyalah hal-hal yang merusak saja dan bisa jadi orang yang rusak adalah orang yang tak berpikir tentang hidup yang sejalan dengan kebera­gaman.

Tuhan terlalu besar dan terlalu luas untuk dibatasi hanya satu agama saja. Kita tidak bisa hanya melihat Tuhan dari satu pandangan agama saja, kita harus melihat Tuhan dari beragam agama juga dan bila perlu melihat Tuhan diluar ketentuan agama karena yang paling utama adalah Tuhan bukan ketentuan agama itu sendiri.

Agama hanyalah formalitas di­mana agama seharusnya memiliki per­kembangan dan perubahan yang semakin maju. Agama jangan hanya turun dari turun temurun tanpa pernah ada perubahan koreksi karena bagai­manapun seseorang membutuhkan pikirannya yang ada perubahan untuk bisa memandang dunia lebih luas lagi dan agama jangan hanya mengurus surga neraka saja karena itu akan mem­buat seseorang tidak memiliki daya kritis dalam memandang. Agama itu harus dikritik bahkan ketika agama itu memiliki kesucian yang tinggi, agama harus bisa didebat untuk me­nemukan pengetahuan dan pendidikan yang baru.

Harian Analisa, 8 November 2019.

No responses yet