Ketua KPK Sebaiknya Mundur Saja
Menyikapi dari beragam kontroversi yang ada, sebuah kepemimpinan tidak akan sejalan dengan pertumbuhan akar, bila kepala terlalu bernafsu lebih untuk menikmati dan melupakan dasar ia bertumbuh, maka yang akan menjadi nama buruk adalah nama dimana ia berdiri. Seorang pemimpin harus bijak mencegah dari jebakan hidup mewah dan mengurangi berkeinginan hidup serba bisa semaunya, ia memang memiliki kuasa penuh untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, tetapi ia tidak bisa menolak apa yang menjadi prioritas suatu komisi pemberantasan korupsi. Bila salah dalam mengambil kebijakan maka akan buruk nama suatu institusi.
Pertanyaannya sederhana, Bagaimana agar nama KPK semakin buruk? Perlihatkan kepemimpinan dengan hidup mewah, maka rakyat menengah kebawah akan ilfil terhadap KPK. KPK bila seperti ini terus akan terlihat punah, ribuan karyawan yang idealis memperjuangkan integritas yang ia anut akan tamat hanya karena seseorang yang suka mencari celah, seperti penyusup yang menghancurkan dari dalam.
Daripada semakin menjadi beban serta memperburuk integritas nama KPK, alangkah baiknya bila bapak Firli segera mundur dari jabatan ketua KPK. Ia gagal dalam menjalankan amanah dan terpedaya hidup dalam kemewahan. Integritas KPK menurun dan OTT tidak sebanyak yang dulunya.
Kita ingin negara ini bersih, tetapi pengendalian dalam melakukan penyidikan dibatasi karena banyaknya penguasa memiliki kedekatan dengan koruptor. Korupsi tidak akan bisa diberantas jika pemimpinnya hidup dalam kemewahan. Terbiasa dengan kesenangan akan membuat ketertarikan pada mafia dalam melakukan gratifikasi. KPK harus bersih dari campur tangan kekuasaan agar ia dapat melakukan pencegahan serta pemberantasan korupsi secara independen.
Beberapa waktu yang lalu, Ketua KPK bapak Komjen Firli Bahuri, diketahui menaiki helikopter mewah saat berpergian ke Sumatera Selatan. Tindakan ketua KPK bapak Firli Bahuri tersebut jelas bertentangan dengan kode etik yang selama ini jadi pegangan pimpinan dan pegawai KPK.
Firli Bahuri diduga melanggar Kode Etik KPK, pada bagian integritas, melarang pegawai maupun pimpinan menunjukkan gaya hidup hedonis yaitu bermewah-mewah. Tidak hanya itu, KPK sendiri tidak memilik helikopter sebagai kendaraan dinas kelembagaan. Lantas dari mana fasilitas helikopter tersebut?
KPK sebaiknya perlu melakukan pemeriksaan lebih lanjut jika benar pemberian fasilitas tersebut dari pihak tertentu. Siapa orang tersebut, dan apa motivasinya memberikan fasilitas helikopter untuk digunakan oleh Firli? Apakah orang tsb saat ini sedang berperkara di KPK? Jika benar fasilitas heli mewah itu adalah pemberian pihak tertentu, maka Firli Bahuri dapat diduga telah menerima gratifikasi yang dilarang oleh regulasi.
Terbukti bahwa penindakan KPK merosot tajam. Pada 25 Juni lalu ICW bersama TII, dan PPPI Paramadina merilis kajian evaluasi kinerja KPK semester 1 (Desember 2019-Juni 2020). Menurut ICW paling tidak ada 3 aspek diberi catatan kritis dan dilakukan evaluasi kinerja KPK. Mulai dari penindakan, pencegahan, dan kebijakan internal organisasi KPK.
Catatan kritis yang disusun oleh ICW mengombinasikan analisis kebijakan, pemberitaan, dan laporan-laporan hasil penelitian. Evaluasi ini merupakan kerja kolaborasi, dan ICW menganalisis sektor penindakan.
Pada sektor penindakan KPK, ICW mencatat setidaknya ada 6 masalah besar KPK di era kepemimpinan Firli cs. Pertama, Jumlah Tangkap Tangan (OTT) merosot tajam. Sebelumnya KPK dikenal salah satunya karena keberanian melakukan OTT.
Namun sejak Pimpinan KPK Firli Bahuri cs dilantik, hingga laporan ini dirilis hanya ada 2 kali OTT. Kasus dugaan suap pergantian antar waktu anggota DPR dan dugaan suap proyek infrastruktur di Sidoarjo.
Padahal pada tahun 2018 saja KPK telah melakukan setidaknya 13 OTT. Kedua, sejak dilantik pada Desember 2019, Firli cs telah “menghasilkan” setidaknya 5 buronan. Sehingga, jika ditambahkan 3 orang buronan yg blm tertangkap pd periode sebelum Desember 2019, ada 8 org buronan yg “dihasilkan” KPK.
Belum lama ini, Tim Penyidik KPK berhasil menangkap 2 dari 8 buronan, yakni mantan Sekretaris MA, Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono. Sehingga, masih ada 6 orang buronan yang tersisa, yakni Harun Masiku, Sjamsul Nursalim, Itjih Nursalim, Samin Tan, Izin Azhar, dan Hiendra Soenjoto.
Catatan ketiga ICW juga merilis bahwa, KPK tidak juga menyentuh perkara besar. Hingga pertengahan 2019, ada setidaknya 16 tunggakan perkara besar yang hingga kini belum dilanjutkan proses hukumnya, di antaranya yaitu perkara penerbitan SKL obligor BLBI dengan kerugian negara Rp 4,58 triliun. Bailout Bank Century dg kerugian negara Rp 7,4 triliun, dan pengadaan KTP Elektronik dengan kerugian negara Rp 2,3 triliun.
Keempat KPK gagal melakukan OTT. Pada pertengahan Mei lalu KPK melakukan OTT di lingkungan Kemendikbud. Bukannya melanjutkan perkara, KPK malah melimpahkan kasus tsb ke Kepolisian. Alasan pelimpahannya pun janggal yaitu, tdk ditemukan unsur penyelnggara negara. Padahal sudah jelas bahwa dalam UU 28/1999 dikatakan Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri dikategorikan sebagai penyelenggara negara. Perbuatan Rektor UNJ tersebut juga layak masuk dugaan tindak pidana korupsi. Namun KPK malah menafikan hal tersebut.
Kelima yaitu sengkarut penanganan perkara. Awal 2020 KPK melakukan OTT terkait suap pergantian antar waktu anggota DPRI RI, yg diduga melibatkan komisioner KPU, Wahyu Setiawan dan mantan Caleg Harun Masiku. Ada beberapa kejanggalan yang terjadi dalam proses hukum kasus ini. Salah satu kejanggalannya adalah, ketika ada dugaan penyekapan tim KPK saat akan menangkap Harun Masiku dan petinggi partai politik di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Pimpinan KPK bukannya melindungi, malah terkesan menutup-nutupi kejadian itu.
Kejanggalan lain, Harun Masiku dikatakan ada di Singapura menurut Kemenkum HAM, fakta sebaliknya, justru Harun sudah ada di Indonesia. KPK juga tidak kunjung menggeledah kantor DPP PDIP. Padahal awalnya KPK berniat memeriksa kantor PDIP.
Catatan Keenam ICW, KPK abai dalam perlindungan saksi. Kasus korupsi yg melibatkan Menpora Imam Nahrawi, dalam persidangan dihadirkan mantan asisten Menpora yakni Miftahul Ulum. Ia mengatakan ada dugaan aliran dana ke anggota BPK Achsanul Qosasi dan mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Adi Toegarisman.
Namun setelah memberikan kesaksian di persidangan, Ulum langsung dipanggil oleh Kejaksaan Agung sbg saksi dalam perkara yg hampir serupa. KPK sampai saat ini belum memberikan perlindungan kepada saksi.
Harian Analisa, 10 Juli 2020.