Abdi Mulia Lubis
3 min readFeb 9, 2018

Koran Kami Inspirasi Bangsa

Novel koran kami adalah suatu upaya untuk menguatkan rasionalitas dalam membenturkan keyakinan modern dengan pemikiran masa lalu. Yang dulu membumi yang sekarang melangit. Orang-orang zaman now telah kehabisan harapan dan seakan tumpul pemikiran dengan adanya gadget. Gadget seakan sudah menjadi Tuhan zaman now, begitu fakultas fil­safat Unparmengkondisikan za­man kini dengan mengadakan seminar filsafat.

Yang kita takutkan dengan sema­kin meluasnya candu pada sesuatu yang virtual seperti media digital pada gawai, para penerus bangsa yang akan datang akan semakin kacau tak me­miliki ideologi. Lupa pada apa yang wajib dan sibuk dengan apa yang tak baik, lebih banyak melam­piaskan ke­pada harapan bukan kepada pemiki­ran yang pada akhirnya pikiran serta hati mudah dije­rumuskan dari mereka yang ingin merusak dengan menu­han­kan agama.

Bayangkan besarnya radiasi yang ditimbul­kan dari media digital, media digital memang disatukan sisi memberi kegunaan berupa kece­patan mengakses berita tanpa batas, namun kece­patan itu menimbulkan efek negatif yang besar. Tubuh bisa melemah, kesehatan menurun dan daya tahan mata dalam membaca bisa menjadi rabun. Kalau kebiasaan dengan terus-terusan serba digital maka fisik akan semakin cepat me­nurun kekuatannya.

Informasi seperti uda­ra. Seperti udara pula ia kemudian tak mengenal gravitasi, tak lagi mem­bumi. Karena kenyataan sebenarnya berada di alam.

Setiap manusia memiliki pega­ngan hidup berupa inspirasi, sesuatu yang menjadikan perjalanan menjadi berarti, tanpa pegangan manusia akan linglung, resah dan tak tahu mau ke­mana dan terjebak pada arus glo­bali­sasi. Maka manusia membu­tuhkan pegangan yaitu koran. Inikah Senja­kala Kami menjadi awal dari segala­nya yang membuat saya mengagumi sosok beliau. Banyak yang sudah mengenal beliau dan pisau analisis­nya memang tajam. saya sangat mengagumi Bre Redana, ia mampu membaca masa kini menghubungkan masa lalu dan mengaitkannya ke masa depan, sesuatu yang tak mampu dipikirkan oleh orang pada umumnya. Dalam usianya yang ke 60, umur bukan menjadi penghalang, ini yang harusnya menjadi panutan bahwa bukan usia yang menentukan kegai­rahan berkarya melainkan semangat untuk terus berkarya. Jika sudah merasa pasrah maka penyakit perla­han menghampiri.Bre Redana selama 35 tahun berkarir sebagai wartawan Harian Kompas. Dalam karier sebagai wartawan banyak menulis hal-hal yang berkaitan dengan seni, kebudayaan, gaya hidup. Menulis beberapa buku, terdiri atas refleksinya mengenai kebudayaan, kumpulan cerita pendek, dan novel.

Masyarakat kurang sehat lebih akrab dengan jarum suntik ketimbang alat tulis yang selama ribuan tahun membawa manusia menuju pera­daban. (hlm 17) Sejarah bukan seka­dar kronologi kejadian, melain­kan kronologi kesadaran. Kronologi kesa­daran jauh lebih utama dibanding urut-urutan kejadian menyangkut tanggal, tahun, peristiwa, dan lain se­ba­gainya. Kronologi kejadian mudah diutak-atik, kalau perlu dikarang-karang.

Hidup tak melulu terselenggara atas aturan. Ada yang namanya keti­dakteraturan alias chaos-ordered­chaos- agar dicapai ke­seim­bangan. (hlm 36) Tokoh Nindityo percaya pada kekuatan sesuatu hal yang bersifat main-main. Karena ber­sifat main-main, beban berkurang, bahkan hi­lang. Usaha yang berhasil adalah usaha yang di­lakukan tanpa keberatan me­nang­gung beban.

Bahasa bukan satu-satunya cara untuk ber­komunikasi dan untuk dekat dengan orang. Ada mis­teri lain dalam ko­mu­nikasi antar­manusia yang mampu mende­katkan satu orang de­ngan orang lainnya. Intinya: jangan sok tahu. (hlm 53)

Dongeng, cerita, me­ru­pakan ba­gian tak terpi­sahkan dari proses evo­lusi manusia menuju peradaban. Se­jak zaman Neolithic atau bahkan Paleolithic, Nean­der­thal mendengar­kan do­ngeng. (hlm 78) Hu­ma­nisme transendental yaitu kemanusiaan yang mentransfer se­maikan keyaki­nan tertentu, melihat sesuatu dengan pertimbangan utama manusia, tidak peduli manusia itu siapa, apa jelas sosialnya, apa Suju bangsanya, apa agamanya, apa ideo­loginya, dan lain-lain.

Santosa Santana atau disapa SS dalam novel koran kami, ia diajak sahabatnya untuk membikin sebuah koran pada saat industri koran mulai terdesak oleh media digital. Ia me­ngumpulkan teman-teman lama, ber­spekulasi membikin koran dengan cakrawala bahwa media cetak sesuatu yang nyata bisa dipegang, tetap me­miliki kemungkinan hidup di tengah pergeseran kepercayaan orang terhadap sesuatu yang bersifat virtual di mana yang nyata dan tidak nyata kabur batasnya. Proses kerja mem­bikin koran mengembalikan mereka ke sebuah dunia yang pernah mereka geluti berikut nilai-nilainya dari zaman yang telah berlalu cukup lama. Sebuah zaman di mana hidup seolah cukup hanya dengan cinta.

Mencintai apa yang dikerja­kan­nya, tetapi nyatanya dunia tak cukup bisa hidup hanya dengan cinta. (hlm 150).

Peresensi: Abdi Mulia Lubis

Judul : Koran Kami, With Lucy in The Sky
Penulis : Bre Redana
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan : Cetakan Pertama, 20 November 2017
Tebal : 200 halaman
ISBN : 978-602-424-708-9

http://harian.analisadaily.com/mobile/resensi-buku/news/koran-kami-inspirasi-bangsa/500666/2018/02/07

Responses (1)