Abdi Mulia Lubis
3 min readDec 19, 2018

Koruptor Reborn for Caleg

MARI kita ucapkan selamat menempuh petualang baru me­nuju lembah yang lebih mencekam kepada mantan eks ko­ruptor yang siap kem­bali bertempur di pemilu caleg nanti. Mari kita bertepuk tangan ria ke­tawa-ketawi sebab demokrasi kini telah mati, tidak usah pikirkan untung rugi negara yang pen­ting biarkan saja para eks mantan koruptor merdeka, me­nebar janji manis berujung petaka korupsi berjamaah. Saya sem­pat sakit perut membaca keputusan MA, selayak berpikir begitu lama dan teringat akan salah seorang filsuf. Jika sean­dainya Nietzsche masih hidup maka yang ia wacanakan bukan hanya Tuhan telah mati, melainkan rasa malu terhadap rakyat telah mati, sebab tak ada kata malu selagi ada kesempatan untuk korupsi hajar saja, yang penting hukum bisa dibeli dan tau­bat bisa kapan saja selama masih bisa pencitraan ibadah ke tanah suci. Saya mendefeniaikan istilah baru berupa rasa malu telah mati, dan Bawaslu telah membanggakannya. Hidup eks mantan koruptor. Hore, hore, hore.

Tentu kita takkan berharap kepada ketua partai untuk kon­fe­rensi pers dan menjelaskan secara terbuka kenapa kader­nya yang korup masih diijinkan mencaleg, ya kita anggap saja ini rahasia-rahasia kita bersama, kita duduk ngopi, bahas proyek, cari celah sana-sini yang mana bisa diolah nanti biar sa­ma-sama enak liburan keluar negeri, aman lah pokoknya yang penting diam dan mari kampanye kerumah ibadah purak-purak santun. Maka dari ujung sana kita akan lihat para pemuka agama yang kita harap menyuarakan kebenaran kini tak ada menyatakan kata haram untuk memilih calon mantan koruptor, hahaha seakan dunia sudah menjadi terbalik, giliran memilih sesama agama kerasnya mintak ampun, pala mantan koruptor diam seribu bahasa, gak papa korupsi asal agamanya se­akidah. Betapa hancurnya pemikiran seperti itu, ada rasa ge­ram dan ingin rasanya mengantuk-ngantukkan kepala ke dinding kenapa pikiran kita semakin sakit.

Mari kita bayangkan sejenak bagaimana para mantan ko­rup­tor berkampanye. "Saya tidak akan bawa isu agama melain­kan saya akan menjalankan pemerintahan yang bersih dan jujur, namun dibalik itu semua jikalau saya kedapatan OTT dan korupsi maka itu semua bukan salah saya melainkan ujian, cobaan, musi­bah yang diberikan Tuhan kepada kita semua, untuk itu marilah kita berdoa dan pilihlah saya agar menjadi wakil anda di kursi DPR dan DPD nanti."

Bagaimana menurut anda ? Tentu kampanye diatas meru­pakan kampanye cacat logika dan tak bisa dipercaya, bagai­mana mungkin rakyat bisa dikibuli, dan seandainya rakyat masih percaya tentu semakin hancur negara ini kedepannya. Begitu kenak masuk barang OTT yang dibawa nama-nama Tuhan. Tentu rakyat tidak bodoh dan kita bisa berpikir mana yang baik dan buruk buat kita. Uang 100 ribu tak bisa dijadikan modal suara untuk memilih pemim­pin yang terbaik, jika anda mendapatkan perkataan bahwa uang 100 ribu tidak membeli apa-apa maka para caleg koruptor bisa memberikan anda uang 100 ribu agar anda memilih dia.

Saya berusaha untuk tidak memi­kirkan tempe, namun saya memikirkan bagaimana jika saya ke ATM untuk mengambil uang yang keluar bukan uang melainkan Tempe. Tentu anda mengerti arah tulisan saya dan kita sadar kebodohan hal ter­sebut untuk tidak mudah dikibuli dengan jurus foto gaya bebek diatas kayu. Dan ini adalah satire, suatu pujian yang bi­sa jadi menjatuhkan mengungkapkan keburukan yang tak terungkap selama ini. Jangan maulah dibohongi hagstag dan tagar, tapi ber­pikirlah untuk maju tanpa dibayang-bayangi kata nyinyir dan kampanye kebencian di media sosial. ***

Harian Analisa, 19 Desember 2018.

No responses yet