Abdi Mulia Lubis
3 min readJan 27, 2019

Memanusiakan Terorisme

SEMACAM ada penyakit psiko­pat dalam beragama atau cin­ta yang ter­lalu begitu menggebu gila kepada sur­ga tanpa pengendalian pemikiran yang dalam sehingga segala macam ke­bencian harus didoktrin besar-be­saran kepada generasi mi­lenial kita saat ini melalui medsos agar bersikap ra­sis menolak yang namanya kebera­gam­­an berupa statement khilafah harga mati, atau pemuka agamamu na­bimu, 2019 ganti agama men­jadi reu­ni. Saya mau mencari istilah yang tak menyakitkan na­­mun memberi pe­ma­haman Ilham yang begitu menge­nak utuh tentang bagaimana "virus psi­kopat berbasis teologi dak­wah ra­dikal" yang tengah menjangkiti negeri kita ini bisa di­hapus dengan mem­berikan suntikan moral mengenai pe­ma­­haman ideologi secara menye­lu­ruh. Kita tentu masih ingat bagaimana Albert Einstein yang mengatakan bah­wa Ilmu tan­pa Agama Buta, Aga­ma Tanpa Ilmu Lumpuh. Yang terjadi pa­da kita saat ini justru sebaliknya ada­lah kita lumpuh dalam berpikir ditambah buta dalam memahami sejarah agama. Sudah tak memiliki ilmu tambah tak memiliki pengetahu­an ten­tang agama. Kita mungkin tam­bah sakit secara psikologis da­lam ber­pikir bila menerima begitu saja se­buah dalil bahwa surga berada di te­la­pak dakwah sang teroris. Sang te­roris harus dikatakan ustadz? Sampai di­mana akal kita bisa berpikir seperti itu? Haruskah kita membiarkan se­mua ini terjadi? Me­maafkan dan biar­kan dakwah radikal terus merajai sam­pai mela­hirkan generasi teroris? Apa­kah teroris bisa dikatakan manu­sia­wi? Atau teroris taubat menjadi ula­ma?

Saya tidak mempunyai masalah pri­badi dengan ABB, tapi yang na­manya kalau ideologi Pancasila ma­sih tercemar de­ngan paham-pa­ham teologi yang bersifat radikal ke­pada generasi muda masa kini maka kita semua harus turun tangan memba­ngun gagasan untuk menye­lesaikan semua perma­sa­lah­an ini dengan akal se­hat bukan ego surgawi. Sebagai pem­baca gila karya Tan Malaka sedikit banyaknya saya tahu bagai­mana keresahan nya, Melihat begitu ba­nyaknya pen­dengar khotbah yang mu­dah terdoktrin untuk bersikap rasis, ikut demo aksi yang tidak ber­akhlak maka besar kemungkinan nalar kemanusiaan kita telah tumpul digilas kedunguan dakwah radikal.

Kalaulah kita buat simulasi seder­hana, atau kita buat sebuah perkum­pul­an diskusi baru dengan judul "In­to­lorance Lawyers Club" agar men­da­pat piala citra dungu awards setiap ta­­hunnya sebagai tempat ngibul laga bo­ngak paling bergengsi yang kagak jelas substansinya kemana, maka saya akan ber­tanya menunjuk ke kamera bahwa disini siapa yang setuju se­orang teroris disebut sebagai ulama? Ayo angkat tangan nanti di­kasih se­peda. Atau kasih kisi-kisi se­dikit su­paya jadi tu­gas kita sebagai war­ga negara adalah mengketik di google siapa teroris di Indonesia yang layak menjadi ulama masa kini. Kan dungu plus-plus bila kita melakukan hal tersebut. Maka berhentilah me­ma­nu­siakan Terorisme dan jangan meng­ang­­gap semua baik-baik saja.

Pertanyaan saya sederhana, yaitu bagaimana kita memaaf­kan sese­orang yang bersikap untuk memecah be­lah bangsa ini? Ini seperti mema­kan du­rian satu becak tengah malam ke­pala naik pening nyut-nyutan ko­lesterol semakin naik akibat memi­kir­kan kenapa teroris harus dibebas­kan? Pe­laku tindak teror yang mem­bu­­mi­hanguskan kemanusiaan de­ngan me­la­kukan aksi bom bunuh diri kini mung­kin sekarang sudah ber­a­da di surga kelas VIP bersama 99 bidadari yang tidak bisa ki­ta interogasi atau video call secara live via WhatsApp Grup un­tuk menan­ya­kan apakah dia ba­hagia berada di­sana walau dengan cara menolak ber­sikap toleran kepada perbedaan? Ja­ring­an WiFi kita mung­kin tidak sam­pai untuk konek ke ja­ri­ng­an surga te­tapi akal sehat kita bisa sam­pai untuk meng­kaji kenapa kedu­ngu­an teroris diangkat selayak nabi?

Perlu kita tekankan sebelumnya biar gak berat kali, bahwa agama itu baik sebagai privasi dan berbahaya se­bagai ideologi negara. Dalil kons­ti­tusi kalau kita korek maknanya memang seperti itu dan kita tak perlu marah mempermasalahkan seng­keta lahan surga berapa hektar yang kita dapat diakhirat nanti secara sertifikat.

Sebenarnya akar teroris itu berada pada pendakwah, jadi yang para pendakwah radikal ini jangan dibe­bas­kan bicara begitu saja. Dalam hal ini saya tidak setuju jika teroris di­ma­­nusia­kan apalagi para penyebar dak­wahnya diangkat seperti nabi setiap hari harus safari cari bibit te­rorisme. Peme­rin­tah harus menga­wasi secara ketat rumah ibadah agar tidak dicampuri oleh hal-hal yang ra­sis, politik, dan kebencian. Jadi ja­ngan­lah terlalu memaksakan diri untuk menunjukkan kesalehan apa­lagi merasa paling benar dengan ber­si­kap mengumbar kebencian yang ber­ujung pada perpecahan. Berteng­kar dan letakkan lah permasalahan itu di ruang diskusi bukan menjamur di status Facebook supaya kita bisa menik­mati sensasi ide-ide segar nan kritis dari pergulatan pe­mi­­kiran yang dalam. Bukan sekedar cek-cok tak bermutu tanpa adanya argumentasi yang kokoh. Kalau mau debat ya mari datanglah ke kampus, warung kopi, diskusikan secara terang-benderang tanpa harus ada yang ditutupi. Jangan berani cuma dijari mengketik dengan cepat sepala begitu jumpa langsung melempem. Pergunakanlah waktu sebaik mungkin di dunia nyata, bukan di dunia Maya.

Harian Analisa, 26 Januari 2019.

No responses yet