Memanusiakan Terorisme
SEMACAM ada penyakit psikopat dalam beragama atau cinta yang terlalu begitu menggebu gila kepada surga tanpa pengendalian pemikiran yang dalam sehingga segala macam kebencian harus didoktrin besar-besaran kepada generasi milenial kita saat ini melalui medsos agar bersikap rasis menolak yang namanya keberagaman berupa statement khilafah harga mati, atau pemuka agamamu nabimu, 2019 ganti agama menjadi reuni. Saya mau mencari istilah yang tak menyakitkan namun memberi pemahaman Ilham yang begitu mengenak utuh tentang bagaimana "virus psikopat berbasis teologi dakwah radikal" yang tengah menjangkiti negeri kita ini bisa dihapus dengan memberikan suntikan moral mengenai pemahaman ideologi secara menyeluruh. Kita tentu masih ingat bagaimana Albert Einstein yang mengatakan bahwa Ilmu tanpa Agama Buta, Agama Tanpa Ilmu Lumpuh. Yang terjadi pada kita saat ini justru sebaliknya adalah kita lumpuh dalam berpikir ditambah buta dalam memahami sejarah agama. Sudah tak memiliki ilmu tambah tak memiliki pengetahuan tentang agama. Kita mungkin tambah sakit secara psikologis dalam berpikir bila menerima begitu saja sebuah dalil bahwa surga berada di telapak dakwah sang teroris. Sang teroris harus dikatakan ustadz? Sampai dimana akal kita bisa berpikir seperti itu? Haruskah kita membiarkan semua ini terjadi? Memaafkan dan biarkan dakwah radikal terus merajai sampai melahirkan generasi teroris? Apakah teroris bisa dikatakan manusiawi? Atau teroris taubat menjadi ulama?
Saya tidak mempunyai masalah pribadi dengan ABB, tapi yang namanya kalau ideologi Pancasila masih tercemar dengan paham-paham teologi yang bersifat radikal kepada generasi muda masa kini maka kita semua harus turun tangan membangun gagasan untuk menyelesaikan semua permasalahan ini dengan akal sehat bukan ego surgawi. Sebagai pembaca gila karya Tan Malaka sedikit banyaknya saya tahu bagaimana keresahan nya, Melihat begitu banyaknya pendengar khotbah yang mudah terdoktrin untuk bersikap rasis, ikut demo aksi yang tidak berakhlak maka besar kemungkinan nalar kemanusiaan kita telah tumpul digilas kedunguan dakwah radikal.
Kalaulah kita buat simulasi sederhana, atau kita buat sebuah perkumpulan diskusi baru dengan judul "Intolorance Lawyers Club" agar mendapat piala citra dungu awards setiap tahunnya sebagai tempat ngibul laga bongak paling bergengsi yang kagak jelas substansinya kemana, maka saya akan bertanya menunjuk ke kamera bahwa disini siapa yang setuju seorang teroris disebut sebagai ulama? Ayo angkat tangan nanti dikasih sepeda. Atau kasih kisi-kisi sedikit supaya jadi tugas kita sebagai warga negara adalah mengketik di google siapa teroris di Indonesia yang layak menjadi ulama masa kini. Kan dungu plus-plus bila kita melakukan hal tersebut. Maka berhentilah memanusiakan Terorisme dan jangan menganggap semua baik-baik saja.
Pertanyaan saya sederhana, yaitu bagaimana kita memaafkan seseorang yang bersikap untuk memecah belah bangsa ini? Ini seperti memakan durian satu becak tengah malam kepala naik pening nyut-nyutan kolesterol semakin naik akibat memikirkan kenapa teroris harus dibebaskan? Pelaku tindak teror yang membumihanguskan kemanusiaan dengan melakukan aksi bom bunuh diri kini mungkin sekarang sudah berada di surga kelas VIP bersama 99 bidadari yang tidak bisa kita interogasi atau video call secara live via WhatsApp Grup untuk menanyakan apakah dia bahagia berada disana walau dengan cara menolak bersikap toleran kepada perbedaan? Jaringan WiFi kita mungkin tidak sampai untuk konek ke jaringan surga tetapi akal sehat kita bisa sampai untuk mengkaji kenapa kedunguan teroris diangkat selayak nabi?
Perlu kita tekankan sebelumnya biar gak berat kali, bahwa agama itu baik sebagai privasi dan berbahaya sebagai ideologi negara. Dalil konstitusi kalau kita korek maknanya memang seperti itu dan kita tak perlu marah mempermasalahkan sengketa lahan surga berapa hektar yang kita dapat diakhirat nanti secara sertifikat.
Sebenarnya akar teroris itu berada pada pendakwah, jadi yang para pendakwah radikal ini jangan dibebaskan bicara begitu saja. Dalam hal ini saya tidak setuju jika teroris dimanusiakan apalagi para penyebar dakwahnya diangkat seperti nabi setiap hari harus safari cari bibit terorisme. Pemerintah harus mengawasi secara ketat rumah ibadah agar tidak dicampuri oleh hal-hal yang rasis, politik, dan kebencian. Jadi janganlah terlalu memaksakan diri untuk menunjukkan kesalehan apalagi merasa paling benar dengan bersikap mengumbar kebencian yang berujung pada perpecahan. Bertengkar dan letakkan lah permasalahan itu di ruang diskusi bukan menjamur di status Facebook supaya kita bisa menikmati sensasi ide-ide segar nan kritis dari pergulatan pemikiran yang dalam. Bukan sekedar cek-cok tak bermutu tanpa adanya argumentasi yang kokoh. Kalau mau debat ya mari datanglah ke kampus, warung kopi, diskusikan secara terang-benderang tanpa harus ada yang ditutupi. Jangan berani cuma dijari mengketik dengan cepat sepala begitu jumpa langsung melempem. Pergunakanlah waktu sebaik mungkin di dunia nyata, bukan di dunia Maya.
Harian Analisa, 26 Januari 2019.