Abdi Mulia Lubis
4 min readJan 10, 2019

Menalar Perda Syariah

Ketika candu-candu intoleransi semakin marak mewabah sosial me­dia bak virus pembunuh karakter yang senantiasa meracuni pikiran-pi­kiran generasi muda dengan bera­gam tawaran surga serta paksaan untuk membenci ke­beragaman mulai de­ngan mencaci hingga mengajak un­tuk menebar-nebar berita palsu demi elektabilitas teologi maka yang terjadi adalah punahnya Pancasila sebagai ideologi negara. Krisis ideologi dan Senja kala Pancasila yang makin hari makin terasa hingga kini bisa kita lihat mulai dari adanya khotbah yang terpapar paham-paham radikalisme dan grup-grup jihad di WhatsApp dan aplikasi lainnya serta beragam aksi demo yang tak berakhlak sering sekali membawa keje­nuh­an serta hilangnya gairah persatuan nasionalisme kebangsaan diantara kita. Pertanyaannya bagaimana mungkin menjadi so­leh kalau hanya sibuk me­nyuarakan kebencian?

Berlagak santun membawa ayat-ayat kitab suci namun dibelakang ko­rupsi besar-besaran terus terjadi hingga OTT gencar dilaksanakan tak juga memberi kesadaran bagi mereka yang ekstrem beragama untuk ber­taubat di jalan yang lurus. Beraga­ma yang lurus-lurus saja terlebih da­hu­lu dan jangan terlalu memaksa ka­li untuk menjadi suci 100 persen, se­bab bisa berakibat fatal pada keberagaman. Hentikan segala kemu­na­fikan dan mulailah bergegas membangun negeri tanpa ko­rupsi. Jihad yang revolusioner adalah memperjuangkan negara bebas korupsi hingga menimbulkan kesejahteraan yang merata hingga menyeluruh.

Tan Malaka sebagaimana dalam bu­ku yang ia tulis meng­inginkan kemerdekaan 100 persen yaitu kemerdekaan yang sepenuhnya bebas dari kung­kungan teologi dan dalil yang men­cekal pergerakan progresif, mematahkan paham takhayul agar bangsa Indonesia bisa bebas berdikari dari perbudakan penjajahan. Apakah ia anti­ Tuhan ? Tentu tidak sebab ia me­­­­nga­takan “Di hadapan Tuhan saya adalah Muslim, namun di antara Manusia, saya adalah Komunis. Karena ­di tengah-tengah Manusia, banyak jel­maan Iblis”. Sayangnya banyak diantara generasi kita terlanjur anti ter­hadap bacaan kiri, me­nuduh paham Marxisme sebagai paham yang me­nolak adanya Tuhan. Pendeknya ber­pikir dan enggan mau tahu adalah bias dari kedunguan yang kian hari tak terelakkan. Gene­rasi kita lebih me­milih menghabiskan waktu berjam-jam dengan bermain game onli­ne daripada membaca buku sosial. Bila diadakan survei tentu setiap gadget anak muda zaman sekarang pasti ada aplikasi mobile legend dan game PUBG mobile.

Sementara kita yang banyak memakai label agama bersikap melebihi ib­lis seperti korupsi dan propaganda ke­bencian lainnya. Betapa kejinya per­buatan mempermainkan agama dan banyak memakai agama demi ke­­pentingan serta tujuan tertentu. Da­lam beragama kita diajarkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan bukan berlomba-lomba dalam Kebencian. Hal inilah yang seharusnya men­jadi kiblat toleransi keberagaman dalam beragama yaitu menghentikan segala kedunguan ego merasa paling layak masuk surga dan mulai berbenah diri untuk belajar hal-hal baru seperti filsafat, seni, sastra dan lainnya untuk membuka perspektif baru sehingga beragama tak kelihatan se­perti orang yang kurang piknik. Bila pilpres diramaikan dengan berlomba-lomba dalam kebaikan, rakyat akan mendapatkan manfaatnya. Bila pil­pres diramaikan dengan berlomba-lomba menebar kebencian, maka rakyat yang akan menjadi korbannya. Hancurnya suatu negeri di Timur Te­ngah disebabkan timbulnya radika­lisme dalam ber­agama berupa memaksakan agar hanya boleh ada satu agama dalam negara.

Yang menambah sesak nafas pikir­an saat ini adalah maraknya bertebaran brosur serta pamflet berupa ajakan untuk kegiatan mengikuti kuliah kajian cepat-cepat nikah menuju halal lebih baik, yang disodorkan para pemuka agama kepada anak-anak gene­rasi muda yang baru menginjak bang­ku sekolah menengah pertama. Anak-anak masih belajar dan belum ada pekerjaan sudah diajarkan untuk cepat menikah ? Tentu kita akan berta­nya, ini para pemukanya yang mau po­ligami atau gimana ? Atau sudah tak tahan lagi ingin mendua ? Coba­lah poligami cewek bermarga apa tak habis kena libas badan itu. Untuk itu baiknya berhati-hatilah jangan sampai salah menggu­na­kan dalil karena tak mungkin biaya pernikahan masih minta kepada orang tua, karena malunya bisa sampai kebawa tua. Kalau tak kuat akal jangan terlalu ekstrem dalam menggunakan dalil karena bisa sesat ajaran dan didikan, jangan dibalik men­­jadi kalau tak kuat iman ja­ngan­ belajar filsafat, sebab dungu ja­di­nya bila beriman tanpa akal sehat.

Dalam tradisi pemikiran Nietz­sche­ yang dikembangkan oleh filsuf Martin Hedegger dan JacquesDerrida yaitu kita harus selalu curiga terha­dap segala rupa pemikiran yang “seri­us mengenai agama”. Pemikiran “se­ri­us tentang agama” adalah pemikir­an yang terobsesi dengan “kebenaran

tunggal” dengan mengasumsikan adanya suatu fondasi yang kokoh bagi pengetahuan, sehingga kebenaran dan kesalahan seolah-olah bisa kita bedakan secara dalam istilah Descartes ”clearand distinct”.

Timbulnya agama baru berupa reuni 212 kini telah menjadi momok menakutkan berupa ancaman perpecahan yang disusupi ajang pembuktian kampanye berselimut agama. Yang terjadi adalah mendadak ulama. Kita disesakkan dengan suatu gerombolan berjuta aksi massa yang sebenarnya bisa dise­le­sai­kan dengan hal sederhana. Terlalu cepat mengambil ke­pu­tusan ego tanpa pertimbangan rasionalitas yang panjang adalah bias kedunguan yang semakin hari semakin nyata dungunya. Adalah sudah menjadi kesadaran semestinya bagi para pemuka agama untuk bisa menenangkan dalam mencipta­kan perda­maian bukan semakin menambah kegaduhan serta perpecahan. Dimanakah akal sehat? Dan haruskah menim­bulkan kemacetan di ibukota? Kita tak bisa sampai berpikir disebabkan terlanjur ikut pada arus radikalisme, hantu-hantu intoleransi yang terus membayangi selalu membuat kita merasa jenuh.

Dalam buku ‘The EthicsofBelief’ (1877), Clifford mem­berikan tiga argumen tentang mengapa kita memiliki kewajiban moral untuk percaya secara bertanggung jawab, yaitu untuk mempercayai hanya apa yang kita miliki bukti yang cukup dan apa yang telah kita teliti. Argumen pertamanya dimulai dengan pengamatan sederhana bahwa keyakinan kita me­menga­ruhi tindakan kita. Setiap orang akan setuju bahwa perilaku kita dibentuk oleh apa yang kita anggap be­nar tentang dunia yang dikatakan, oleh apa yang kita per­cayai. Jika saya percaya bahwa hujan di luar, saya akan membawa payung. Jika saya percaya taksi tidak mengambil kartu kredit, saya pastikan saya memiliki uang sebelum melompat ke salah satu. Dan jika saya percaya bahwa mencuri itu salah, maka saya akan membayar barang-barang saya sebelum meninggalkan toko. Apa yang kita percayai adalah sangat penting dan praktis. Keyakinan yang salah tentang fakta fisik atau sosial berupa perda syariah membawa kita ke dalam kebiasaan buruk berupa tindakan yang dalam kasus paling ekstrim dapat mengancam kelangsungan hidup kita.

Harian Analisa, 9 Januari 2019

No responses yet