Menalar Perda Syariah
Ketika candu-candu intoleransi semakin marak mewabah sosial media bak virus pembunuh karakter yang senantiasa meracuni pikiran-pikiran generasi muda dengan beragam tawaran surga serta paksaan untuk membenci keberagaman mulai dengan mencaci hingga mengajak untuk menebar-nebar berita palsu demi elektabilitas teologi maka yang terjadi adalah punahnya Pancasila sebagai ideologi negara. Krisis ideologi dan Senja kala Pancasila yang makin hari makin terasa hingga kini bisa kita lihat mulai dari adanya khotbah yang terpapar paham-paham radikalisme dan grup-grup jihad di WhatsApp dan aplikasi lainnya serta beragam aksi demo yang tak berakhlak sering sekali membawa kejenuhan serta hilangnya gairah persatuan nasionalisme kebangsaan diantara kita. Pertanyaannya bagaimana mungkin menjadi soleh kalau hanya sibuk menyuarakan kebencian?
Berlagak santun membawa ayat-ayat kitab suci namun dibelakang korupsi besar-besaran terus terjadi hingga OTT gencar dilaksanakan tak juga memberi kesadaran bagi mereka yang ekstrem beragama untuk bertaubat di jalan yang lurus. Beragama yang lurus-lurus saja terlebih dahulu dan jangan terlalu memaksa kali untuk menjadi suci 100 persen, sebab bisa berakibat fatal pada keberagaman. Hentikan segala kemunafikan dan mulailah bergegas membangun negeri tanpa korupsi. Jihad yang revolusioner adalah memperjuangkan negara bebas korupsi hingga menimbulkan kesejahteraan yang merata hingga menyeluruh.
Tan Malaka sebagaimana dalam buku yang ia tulis menginginkan kemerdekaan 100 persen yaitu kemerdekaan yang sepenuhnya bebas dari kungkungan teologi dan dalil yang mencekal pergerakan progresif, mematahkan paham takhayul agar bangsa Indonesia bisa bebas berdikari dari perbudakan penjajahan. Apakah ia anti Tuhan ? Tentu tidak sebab ia mengatakan “Di hadapan Tuhan saya adalah Muslim, namun di antara Manusia, saya adalah Komunis. Karena di tengah-tengah Manusia, banyak jelmaan Iblis”. Sayangnya banyak diantara generasi kita terlanjur anti terhadap bacaan kiri, menuduh paham Marxisme sebagai paham yang menolak adanya Tuhan. Pendeknya berpikir dan enggan mau tahu adalah bias dari kedunguan yang kian hari tak terelakkan. Generasi kita lebih memilih menghabiskan waktu berjam-jam dengan bermain game online daripada membaca buku sosial. Bila diadakan survei tentu setiap gadget anak muda zaman sekarang pasti ada aplikasi mobile legend dan game PUBG mobile.
Sementara kita yang banyak memakai label agama bersikap melebihi iblis seperti korupsi dan propaganda kebencian lainnya. Betapa kejinya perbuatan mempermainkan agama dan banyak memakai agama demi kepentingan serta tujuan tertentu. Dalam beragama kita diajarkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan bukan berlomba-lomba dalam Kebencian. Hal inilah yang seharusnya menjadi kiblat toleransi keberagaman dalam beragama yaitu menghentikan segala kedunguan ego merasa paling layak masuk surga dan mulai berbenah diri untuk belajar hal-hal baru seperti filsafat, seni, sastra dan lainnya untuk membuka perspektif baru sehingga beragama tak kelihatan seperti orang yang kurang piknik. Bila pilpres diramaikan dengan berlomba-lomba dalam kebaikan, rakyat akan mendapatkan manfaatnya. Bila pilpres diramaikan dengan berlomba-lomba menebar kebencian, maka rakyat yang akan menjadi korbannya. Hancurnya suatu negeri di Timur Tengah disebabkan timbulnya radikalisme dalam beragama berupa memaksakan agar hanya boleh ada satu agama dalam negara.
Yang menambah sesak nafas pikiran saat ini adalah maraknya bertebaran brosur serta pamflet berupa ajakan untuk kegiatan mengikuti kuliah kajian cepat-cepat nikah menuju halal lebih baik, yang disodorkan para pemuka agama kepada anak-anak generasi muda yang baru menginjak bangku sekolah menengah pertama. Anak-anak masih belajar dan belum ada pekerjaan sudah diajarkan untuk cepat menikah ? Tentu kita akan bertanya, ini para pemukanya yang mau poligami atau gimana ? Atau sudah tak tahan lagi ingin mendua ? Cobalah poligami cewek bermarga apa tak habis kena libas badan itu. Untuk itu baiknya berhati-hatilah jangan sampai salah menggunakan dalil karena tak mungkin biaya pernikahan masih minta kepada orang tua, karena malunya bisa sampai kebawa tua. Kalau tak kuat akal jangan terlalu ekstrem dalam menggunakan dalil karena bisa sesat ajaran dan didikan, jangan dibalik menjadi kalau tak kuat iman jangan belajar filsafat, sebab dungu jadinya bila beriman tanpa akal sehat.
Dalam tradisi pemikiran Nietzsche yang dikembangkan oleh filsuf Martin Hedegger dan JacquesDerrida yaitu kita harus selalu curiga terhadap segala rupa pemikiran yang “serius mengenai agama”. Pemikiran “serius tentang agama” adalah pemikiran yang terobsesi dengan “kebenaran
tunggal” dengan mengasumsikan adanya suatu fondasi yang kokoh bagi pengetahuan, sehingga kebenaran dan kesalahan seolah-olah bisa kita bedakan secara dalam istilah Descartes ”clearand distinct”.
Timbulnya agama baru berupa reuni 212 kini telah menjadi momok menakutkan berupa ancaman perpecahan yang disusupi ajang pembuktian kampanye berselimut agama. Yang terjadi adalah mendadak ulama. Kita disesakkan dengan suatu gerombolan berjuta aksi massa yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan hal sederhana. Terlalu cepat mengambil keputusan ego tanpa pertimbangan rasionalitas yang panjang adalah bias kedunguan yang semakin hari semakin nyata dungunya. Adalah sudah menjadi kesadaran semestinya bagi para pemuka agama untuk bisa menenangkan dalam menciptakan perdamaian bukan semakin menambah kegaduhan serta perpecahan. Dimanakah akal sehat? Dan haruskah menimbulkan kemacetan di ibukota? Kita tak bisa sampai berpikir disebabkan terlanjur ikut pada arus radikalisme, hantu-hantu intoleransi yang terus membayangi selalu membuat kita merasa jenuh.
Dalam buku ‘The EthicsofBelief’ (1877), Clifford memberikan tiga argumen tentang mengapa kita memiliki kewajiban moral untuk percaya secara bertanggung jawab, yaitu untuk mempercayai hanya apa yang kita miliki bukti yang cukup dan apa yang telah kita teliti. Argumen pertamanya dimulai dengan pengamatan sederhana bahwa keyakinan kita memengaruhi tindakan kita. Setiap orang akan setuju bahwa perilaku kita dibentuk oleh apa yang kita anggap benar tentang dunia yang dikatakan, oleh apa yang kita percayai. Jika saya percaya bahwa hujan di luar, saya akan membawa payung. Jika saya percaya taksi tidak mengambil kartu kredit, saya pastikan saya memiliki uang sebelum melompat ke salah satu. Dan jika saya percaya bahwa mencuri itu salah, maka saya akan membayar barang-barang saya sebelum meninggalkan toko. Apa yang kita percayai adalah sangat penting dan praktis. Keyakinan yang salah tentang fakta fisik atau sosial berupa perda syariah membawa kita ke dalam kebiasaan buruk berupa tindakan yang dalam kasus paling ekstrim dapat mengancam kelangsungan hidup kita.
Harian Analisa, 9 Januari 2019