Abdi Mulia Lubis
4 min readJun 10, 2017

Move On dari Kegaduhan Bangsa

Kita sudah mulai lupa dan sering mengintimidasi ideologi se­seorang dengan perang status dan komentar pedas hingga rela menyebarkan berita hoax hanya untuk menunjukkan bahwa tokoh junjunganku tak pernah salah. Apa yang sebenarnya ter­jadi, siapa yang mampu menyesatkan persatuan dan kesatuan bang­sa kita sehingga menimbulkan keretakan kultur Budi pekerti, tak ada lagi yang namanya toleransi saling berbagi. Dimana-mana bahas agama, PKI, pribumi, FPI, asing dan lain­nya, sehingga tak ada manfaatnya dan malah merugikan diri sendiri juga mencoreng nama baik Indonesia dimata dunia. Dimanakah letak kesalahan itu sehingga berbulan-bulan dan bertahun-tahun habis energi kita yang saling meng­ejek dan mencaci maki hanya untuk memamerkan sebuah prin­sip bahwa aku paling benar di dunia ini. Apakah sudah tak ter­pikirkan lagi dihadapan kita semua sudah berapa jauh kita tertinggal dengan negara lain. Mampukah negara ini maju, jika bangsanya sibuk saling tikai lempar status dan komen kebencian?

Manusia terjerat diantara keharusan mencari nafkah kehidu­pan dunia dan mencukupi bekal pahala untuk akhirat. Ada yang berjuang demi sesuap nasi dan ada yang berjuang ingin masuk surga. Dua kubu tersebut bisa disimpulkan kubu dunia dan kubu akhirat. Kita terjerat pada dua hal ter­sebut dan tiada mampu mengkontrol ideologi agar seimbang. Disatu sisi kehidu­pan dunia tidak bisa kita lepaskan dan disatu sisi lagi kehidu­pan akhirat tidak bisa kita acuhkan begitu saja.

Kadang­kala kita akan berpikir tentang salah dan benarnya suatu prinsip namun hadirnya keberagaman tidak mesti memecah belah persatuan kita dalam bernegara. Merasa benar boleh namun jangan mudah menya­lah­kan, seperti berfilsafat kehidu­pan ini me­mang membutuhkan beragam pertimbangan dan per­tanyaan agar kita tidak saling mudah sombong dalam kebaikan dan tidak mudah putus asa dikala hidup terjatuh. Seperti yang dikatakan Socrates, bahwa aku tahu bahwa aku tidak tahu apa-apa.

Semua terjadi dan memiliki jalannya masing-masing, men­jadi berbeda adalah pilihan, namun tetap bersama menjunjung toleransi adalah kewajiban bagi Nusa dan bangsa. Kita tak ingin hancur seperti Suriah, kita tak ingin terjadi perang kon­flik yang berkepanjangan. Bila kita berkaca pada waktu dan melihat kebelakang, cukuplah kegaduhan itu terjadi dan ber­akhirlah segala intimidasi saling mengkafirkan. Ini ialah Indonesia negara dimana beragam suku dan budaya saling ber­gandengan, kita berbeda untuk sa­ling merangkul dan bukan saling menja­tuh­kan. Bila terjadi kesalahpahaman ber­suaralah dengan etika situasi. Jangan ada kebencian diantara perbedaan.

Kenapa kita sibuk mempertahankan prin­sip aku paling benar ? Kenapa kita tidak sibuk untuk berkarya dan bersaing dengan negara lain ? Pernahkah terpikir sudah berapa jauh kita tertinggal ? Negara Indonesia jauh lebih luas dan kaya sumber dayanya dari ne­ga­ra Singapura, namun Indonesia terting­gal jauh dari Singapura. Harga diri negara ini berada ditangan kita masing-masing. Apakah tangan kita sibuk buat status kebencian dan bermain Smartphone itu semua berada pada kesadaran masing-masing. Tidak bisa dipak­sakan orang mau berbuat apa, namun mengi­ngatkan jauh lebih baik daripada melupakan disaat merasa bijak. Perkem­bangan zaman seakan mendoktrin tanpa kita sadari bahwa berlama-lama online adalah sebuah kerugian.

Maka ini semua membawa kita pada satu hal, jika tak mam­pu memberi pencerahan dan inspirasi dalam menulis status dan ko­mentar, maka diam, membaca dan me­mahami jauh lebih baik daripada menulis yang berujung menimbulkan kericu­han. Menulis tanpa menimbulkan konflik kegaduhan adalah jalan terbaik, karena lihatlah sudah bosan dan capek kita melihat status dan berita hoax yang berseliweran di beranda Facebook. Kita tak ingin ketika membuka sosial media timbul berita yang membuat darah tinggi kita naik sehingga ada hasrat yang terpacu ingin saling caci maki dan mengkafirkan. Kita ingin hidup rukun dan bahagia, maka jika kawan-kawan pem­baca ada melihat tulisan yang saling menimbulkan kegaduhan maka jangan mudah untuk di share. Share lah tulisan dan berita yang baik-baik, share lah ayat-ayat suci, kata-kata motivasi, bukan berita hoax yang membuat panas hati jika mem­bacanya.

Jika kita saling berperang maka akan banyak yang menjadi korban, jika kita saling merangkul bergandengan dan memberi support, maka keselamatan bersama diantara kita.

Damailah Indonesiaku, damailah saudara-saudaraku. Sudah ter­lalu lama kita gaduh dan bangkitlah dari kegaduhan itu. Dari sini kita belajar bahwa Cintailah musuhmu seakan-akan ialah yang tanpa sadar memo­tivasimu, memberi kekuatan yang membuat dirimu lebih baik dari hari kemarin.

Untuk itu agar terjauh dari kegaduhan, Kita harus bisa menahan nafsu menulis status di sosial media dan mengutamakan menulis opini untuk media cetak agar fokus dan ketajaman sudut pandang kita lebih terpandang di mata pembaca. Karena apapun rasa sakit jika tulisan ditolak adalah hal yang biasa, karena akan lebih menyaki­tkan lagi jika tidak menulis sama sekali. Menulis adalah nafas inspirasi, jika tak menulis maka tum­pullah nalar sebuah perspektif. Dibutuh­kan partisipasi kebangsaan berupa tulisan yang menyejukkan dan juga membangkitkan gai­rah kebhinekaan. Maka daripada terbengong dan ikut arus kekinian yang tak bermoral maka menulislah dengan kejujuran.

Bagaimana memulai suatu tulisan adalah dengan memper­banyak bacaan, tanpa banyak membaca manusia akan mudah kehabisan kata-kata. Dengan banyak membaca maka akan secara alamiah otak kita akan terangsang akan ide-ide baru, sehingga luas sudut pan­dang kita dalam memaknai suatu kejadi­an. Karena pada akhirnya menulis adalah jalan menuju bangkit dari kegaduhan, menulis menyuarakan panggilan jiwa dan mem­bangun semangat peradaban intelektual.

Opini ini pertama kali dimuat di harian analisa : http://harian.analisadaily.com/mobile/opini/news/move-on-dari-kegaduhan-bangsa/358356/2017/06/08

No responses yet