Abdi Mulia Lubis
4 min readFeb 15, 2020

Nalar yang Memberontak Iman

Ketidakpastian mengenai kepercayaan yang sembarangan diyakini dapat menyebabkan kedunguan yang berkepanjangan bagi para pemuka agama yang terus menyembah agama sebagai jalan utama tetapi melupakan eksistensi kemanusiaan itu sendiri di dalam keberagaman. Para pemuka agama khususnya pada masa kini terlalu sibuk menggencarkan agama baru berupa PA 212, menjadikan Habib Rizieq sebagai Nabi dan mengganti Nama agama menjadi MUI. Para ulama terlihat begitu dungu memanipulator agama, kehilangan akal sehat sehingga lebih mengurus halal haram suatu produk ketimbang menghukum mati para koruptor yang pada hakikatnya harus dihapus di negara ini.

Para pemuka agama terdiam kalau yang namanya persoalan korupsi tetapi akan terlihat beringas dalam persoalan khilafah. Kita sangat merindukan para pemuka agama yang bisa bersikap tegas kepada para koruptor yang seagama dengannya, bukan hanya berlagak keras kepada kaum minoritas tetapi harus garang paling depan juga kepada para pemuka agama yang mempermainkan agama demi terbebas dari pandangan sebagai koruptor.

Para pemuka agama sengaja membuat akting berlagak santun terlihat sebagai orang suci agar terbebas dari praduga sebagai koruptor. Pengkhianat itu semua para pemuka agama kalau kita berani buka topengnya akan kelihatan bejatnya dia dalam mempermainkan agama untuk menutupi kasus korupsinya.

Bangsa kita pada masa kini yang harus diwaspadai adalah maraknya kerasukan fanatisme agama dari ustadz yang baru belajar agama. Para pemuka agama pada masa kini lebih sering mengucapkan kemunafikan ketimbang menyatakan kebenaran yang sebenarnya. Apa yang terjadi pada masa kini seperti yang kita saksikan di berita dan media berita online adalah masalah problem perekonomian nasional yang harus mendapatkan solusi cepat bukan masalah problem pahala dan kesucian.

Para pemuka agama pada masa kini lebih suka menghabiskan waktu yang tak jelas untuk ceramah penuh kebencian ketimbang berbuat kebaikan minimal untuk dirinya sendiri. Dan itu bisa kita saksikan pada saat ini, bukalah YouTube, Facebook, dan Instagram pasti lebih banyak ceramah caci maki penuh kebencian ketimbang ceramah yang penuh dengan kesejukan.

Negara ini overdosis dibuat jumlah pemuka agama radikal yang banyak sehingga Pancasila sebagai ideologi negara tidak dapat berkutik dibatasi oleh para pemuka agama yang suka mengkafirkan. Imannya besar tetapi hanya untuk kebencian semata, itu sama dengan mendatangkan musibah yang besar bagi negara. Para investor yang diluar takut berinvestasi di negara kita disebabkan banyak aturan dari MUI serta ketakutan dari para investor yaitu radikalisme agama yang begitu marak di negara menyebabkan para investor berpikir panjang untuk berinvestasi di negara ini.

Jumlah pemuka agama seharusnya lebih sedikit, dan jumlah para investor harus bertambah lebih banyak maka kemakmuran dan kesejahteraan sosial bisa dirasakan bagi seluruh rakyat Indonesia. Akan menjadi sakit bila negara ini diatur oleh pemuka agama, dan akan semakin hancur negara ini bila radikalisme agama terus digencarkan.

Pendidikan liberalisme, sekuler, filsafat dan lainnya sangat dibutuhkan bagi generasi milenial pada masa kini agar generasi kita terhindar dari jebakan radikalisme agama yang menyesatkan. Pikiran kita harus dibebaskan dari ustadz serta pemuka agama lainnya agar generasi bisa mandiri dan bebas berpikir seperti apa yang ia inginkan. Tinggalkan segala kemunafikan berlagak seperti nabi dan mulailah perbaiki diri dengan tidak melakukan korupsi itu sudah memberikan dampak positif untuk kebaikan negara kita.

Filsafat dan Logika bagi pemuka agama itu wajib. Ibnu Rusyd mewajibkan belajar filsafat dan logika bagi yang mendalami ilmu agama untuk memahami Islam. Pendapat ini benar dan pas sekali untuk saat ini. Jika tidak, maka penceramah/dai/khatib asal bicara saja, tanpa perenungan. Ceramah tanpa logika, hasilnya nol besar dan yang ada hanyalah kebencian. Maka jangan pernah membenci filsafat dan logika karena itu adalah dasar dalam menempuh pelajaran agama yang sesungguhnya.

Saat kita lahir, tidak ada satu identitas apapun. Bahkan kita terlahir di dunia ini tanpa membawa identitas agama. Tapi yang pasti kita terlahir dengan cinta dan membawa cinta, cinta kepada keindahan, pengetahuan, dan kebaikan. Dan itu pula alasannya, semua agama membawa cinta. Cinta adalah ibu dari segala ibu, dan kita adalah anak-anak cinta; dilahirkan dan dibesarkan oleh cinta, hidup dengan cinta, dan kembali di pelukan cinta. puncak agama adalah cinta.

Dalam jurnal filsafat Driyarkara dituliskan berkaitan dengan kebenaran dalam ajaran moral, Socrates, seorang filsuf besar dalam sejarah filsafat yang hidup pada zaman Yunani kuno, mengajukan dua pertanyaan penting. Apakah perbuatan seseorang benar karena para dewa (Tuhan) memerintahkannya ataukah tindakan seseorang itu benar maka para dewa (Tuhan) memerintahkannya. Kedua pertanyaan ini berakhir dalam wujud dilema yang ditemui terutama dalam memahami kebenaran dari sudut pandang teologis.

Jika kita mengiyakan pertanyaan pertama, maka segala tindakan kita dibenarkan semata-mata karena para dewa memerintahkannya. Allah bisa semena-mena karena dia bisa memerintahkan apa pun. Perintah-Nya mendahului tindakan seseorang. Bahayanya adalah kita bisa jatuh dalam radikalisme dan bahkan terorisme. Pembunuhan atas nama agama, misalnya, bisa dibenarkan karena seseorang meyakini, Allah memang memerintahkan demikian. Sebaliknya, dalam pertanyaan yang kedua, kebenaran mendahului perintah Allah. Allah memerintahkan tindakan tertentu karena tindakan tersebut memang benar pada dirinya sendiri. Allah yang dengan kebijaksanaannya menyadari pembunuhan itu salah maka dia tidak memerintahkannya. Memang konsekuensinya adalah standar kebenaran bisa terpisah dari perintah Tuhan.

Dua pertanyaan Socrates dapat dijadikan sebagai basis argumentasi dalam memahami kebenaran yang semakin dikaburkan oleh pandangan-pandangan teologis yang naif, seperti yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Di satu sisi, banyak orang memaknai kebenaran sebagai sesuatu yang identik dengan Allah.

Hal ini bisa berakibat pada pengamalan naif nilai atau perbuatan yang diklaim berasal dari Allah, bahkan jika perbuatan tersebut harus mengambil wujud dalam pembunuhan atau penghancuran martabat manusia lain. Di sisi lain, kebenaran dapat dilihat sebagai sesuatu yang bernilai dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain, suatu perbuatan adalah benar bukan sekadar karena diperintahkan oleh Allah.

Pemahaman seperti ini menempatkan kebenaran sebagai sesuatu yang tidak bisa disalahgunakan, persis seperti yang terjadi pada bagian pertama. Jika pemahaman ini yang diambil, seseorang yang radikal dalam beragama pasti akan menolaknya, tetapi minimal perbuatan-perbuatan jahat yang diklaim benar berasal dari Allah, misalnya terorisme atau pembunuhan, dapat berkurang.

Harian Analisa, 28 Desember 2019.

No responses yet