Abdi Mulia Lubis
3 min readJan 19, 2018

Nietzsche dalam Tubuh Chairil

TIAP seniman harus menjadi perintis jalan. Penuh keberanian dan tenaga hidup. Tidak segan memasuki hutan rimba yang penuh binatang-binatang buas. Mengarungi lautan lepas tak bertepi. Seniman adalah tan­­da dari sebuah hidup yang melepas bebas! Makanya para seniman itu bukan seperti nabi yang ketika mendapat Wahyu, begitu saja ditu­liskan. Dianggap pekerjaan sudah selesai. Kalau itu terjadi, jangan heran jika hasil seni yang dihasilkan tampak dangkal dan picik. Tak lebih dari angin lalu saja. Menyejukkan kening dan dahi pun tidak, apalagi meresap ke dalam Sukma.

Membaca Chairil kiranya mengi­ngatkan saya pada Nietzsche, ia meng­hidupkan sekaligus menyala­kan. Membara juga menuntun pada suatu realitas akan pegangan terhadap keyakinan beragama. Ada bara api yang tak mudah padam sampai kini dari tulisannya dan kita menyadari hal itu takkala kita membaca karya dari Nietzsche dan juga Chairil. Saya merasakan energi Nietzschetakkala membaca karya Chairil, Nietzsche adalah salah satu penulis favorit Chairil, dalam novel ini diceritakan bahwa suatu hari chairil saking sukanya sempat mencuri buku karya Nietzsche, dan uang honor yang dicairkan dari puisi Chairil dibelan­jakan hampir semuanya untuk mem­beli buku Nietzsche, begitu besarnya pengaruh inspirasi Nietzsche bagi Chairil sehingga Chairil mampu menyelami energi dari karya Nietz­sche sehingga ia mampu menulis yang bukan sekedar tulisan, melain­kan mampu meninggikan semangat perjuangan dari penjajahan.

Kemampuan menulis itu berawal dari Kegemaran menyantap buku-buku Toeloes ayahnya, saat Chairil mulai menetaskan hasrat dan minat­nya pada kesenian. Perlahan mulai mekarnya kreativitas saat ia berani­kan menulis beberapa prosa dan menjadi salah satu pengurus majalah dinding Ons MULO Blad di sekolah. (hlm 45)

Chairil memang pelahap segala karya ujar Sergius Susanto dalam novel ini. Mulai dari Filsafat Barat ada Rainer M. Rilke, W.H. Auden, ArchibaldMacLeish, J. Slaurhoff, dan Edgar duPerron, Nietzsche, Hingga Hendrik Marsman. Chairil mengge­mari kebebasan berkata-kata mereka, dan benar kiranya dengan membaca inspirasi takkan hilang, kita akan menulis dengan lepas apabila kita memperbanyak bacaan, jadi apabila terinspirasi dengan Chairil Anwar maka banyaklah membaca buku. Sajak-sajak Chairil, Chairil seperti memberi nafas baru dari yang sudah ada selama ini. Kadang untuk me­mikirkan satu kata yang tepat, Chairil butuh waktu berhari-hari. Dapat satu, diendapkan, kadang diganti lagi manakala hati belum puas.

Menurut Chairil, ada dua macam bentuk eksistensi tentang kesadaran yang ada pada setiap orang. Yang pertama, Etre-en-soi, eksistensi se­perti benda-benda mati. Menutup diri rapat-rapat dari dunia luar hingga tak sedikit pun kesadaran tampak pada­nya. Kedua, etre-pour-soi. Yang ini ber­sifat terbuka dan tidak masif se­hingga bisa melihat keluar dirinya. Kita manusia, memiliki jenis yang satu ini. Karena itu, dengan kesadaran yang cenderung 'retak', manusia cen­derung menjadi pengembara yang asing terhadap dunia sekelilingnya," tutur Chairil. (hlm 90)

Sajak Chairil adalah sajak pem­berontakan diri. Kemerdekaan yang paling esensial, sesungguhnya bisa terbebas dari belenggu amarah dan dendam yang ada dalam diri setiap orang. Itu yang jarang dipikirkan banyak orang. Kemerdekaan pada diri Chairil semakin diyakini sebagai hal yang hakiki, yang harus dimiliki setiap orang. Chairil memilih kemer­dekaan itu meski akhirnya melahirkan konsekuensi sendiri. Ia kembali pada dunia yang selalu membuatnya bergairah yaitu menulis.

"Kadang aku sendiri dihantui perasaan takut menjadi tua, bukan tua dalam artian usia, tapi dalam pendirian dan cita-cita." Ucap chairil

Ini Kali Tak Ada yang Mencari Cinta, memotret pemberontakan batin Chairil Anwar di tengah amuk cinta dan cita-cita, serta skandal penji­plakan beberapa sajak yang meng­gun­cang kesusasteraan tanah air di era 50-an. Kisah ini juga mengungkap tabir dendam yang disimpan Chairil selama bertahun-tahun. Dendam yang akhirnya membuat hidup sang penyair senantiasa gamang dan merasa terbuang sebagai “Binatang Jalang”. (Mizan Store)

Semangat pantang menyerah dan terus berkarya dikala kemiskinan dan keterpurukan hidup adalah salah satu contoh bagi kita untuk terus berkarya tanpa harus menuntut lebih apa yang kurang.

Peresensi : Abdi Mulia Lubis

Resensi ini dimuat Koran Harian Analisa pada hari Rabu, 3 Januari 2018, klik tautan di bawah untuk melihat versi aslinya, terimakasih.

http://harian.analisadaily.com/mobile/resensi-buku/news/nietzsche-dalam-tubuh-chairil/478766/2018/01/03

Responses (1)