Abdi Mulia Lubis
3 min readJul 2, 2018

Pembaca Buku Versus Pengguna Tik Tok

WALAUPUN banyak tanggapan yang mengatakan bahwa menjadi seorang penulis berarti adalah seorang yang tak mampu memiliki apa-apa, itu adalah anggapan bagi mereka yang pendek dalam berpikir, cepat berburuk sangka, dan tak ingin ikut tenggelam dalam refleksi yang berkepanjangan demi melahirkan pemahaman baru. Saya menyadari keadaan seperti itu dengan pengalaman yang telah saya alami dan yang terjadi saat ini telah menunjukkan bahwa seorang penulis yang merelakan nafsu sensasi kesenangan tak menentu berupa baju, pakaian, sepatu mahal dan belanja lainnya adalah haram baginya bila tak dibelanjakan uang tersebut ke buku.

Sungguh suatu ketakutan itu memang tak bisa terelakkan, kita semua takut dengan masa depan, bagaimana besok bisa makan, apakah bisa beli rumah sederhana layaknya tempat tinggal dengan gaji yang untuk makan saja sangat mencekik.

Idealisme berkata bertahanlah, karena bersuara tak mudah dimengerti bagi mereka yang sibuk dengan foya-foya. Ide tak pernah mati, dan gagasan selalu bersinar jika investasi itu ditanamkan dalam bacaan, yaitu membeli buku yang benar-benar membangkitkan gairah semangat berpikir. Saya merasakan kedamaiaan dalam membaca, seluruh bacaan bila luang waktu akan saya habiskan karena kenikmatan membaca itu memang suatu anugerah yang tiada duanya.

Manusia adalah makhluk berpikir, ia bisa merasakan sesuatu secara nyata dengan kesadarannya apabila ia berpikir secara dalam tentang apa yang sungguh-sungguh ia inginkan. Seorang pencinta buku akan mengorbankan keinginan makan-makanan yang enak di restauran hanya untuk keuangan itu agar disisihkan dengan belanja buku. Dan pencinta buka sekedar penggemar buku itu takkan berhenti mencari dan selalu menemukan te­robosan baru agar bagaimana ia bisa membeli buku dan setidaknya meminjam buku yang belum ia baca dari teman dan saudaranya.

Seorang pembaca akan senang dengan terbitnya buku baru atau akan lahirnya buku terjemahan baru, dan seorang pembaca akan merasa tersiksa secara batin tentang bagaimana agar ia bisa memiliki buku baru tersebut. Jadi disatu sisi ada keba­hagiaan dengan lahirnya buku baru dan ada kecemasan mengenai ketidakmampuan membeli buku baru.

Bagaimana kita melihat dunia adalah pada mulanya ber­tumpu pada bagaimana kita menganalisis peristiwa yang terjadi di dalamnya. Tentunya analisis bukan seperti asal menebak dan juga bukan asal memberikan segala keputusan pada dunia takhayul, melainkan melalui suatu pertimbangkan. Agar pemi­kir­an kita sampai pada satu kebiasaan seperti menimbang beberapa peristiwa maka otak kita harus terbiasa dengan berpikir berat. Sayangnya adalah dalam tanggapan masyarakat kekinian banyak yang menjauh dengan satu pemikiran dan menjauh dengan yang namanya kecerdasan. Itu sebabnya banyak bangsa kita yang memilih siaran lawak-lawak yang tak jelas. Yang terlihat adalah dalam hiburan televisi tersebut bisa kita perhatikan adalah jika seorang komedian semakin me­nunjukkan kebodohannya dan memperbanyak kekonyolan demi mencari sensasi maka rating acaranya akan bertambah.

Ketika dunia digerakkan dengan kesibukan bermain aplikasi Tik-Tok demi meningkatkan perhatian publik, maka dengan sendirinya juga akan berhenti aktifitas berpikir. Akal tidak aktif yang aktif hanya kedunguan sebab menghabiskan waktu dengan goyang dua jari. Saya sangat depresi melihat sosial media saat ini, disatu sisi banyak pertengkaran saling merasa benar dengan membawa nama Tuhan, disatu sisi banyak yang menghabiskan waktu dengan goyang dua jari diiringi dengan lagu DJ Aisyah. Dengan semakin sering masyarakat kita sibuk dengan goyang dua jari tak menentu maka akan semakin kecil tanggapan bangsa luar negeri dalam menilai kita. Mereka bangsa luar negeri takkan menyegani bangsa kita, dan justru mereka menertawakan kita, kenapa generasi millenial kita mampu terkungkung pada hal yang tak memiliki manfaat.

Disinilah peran pembaca sangat diutamakan untuk berbagi pandangan kepada masyarakat, yaitu me­nyua­rakan apa yang tak dilihat orang pada umumnya, dan memberikan solusi jalan alternatif agar tidak banyak waktu yang terbuang dengan internet. Pembaca mengerti apabila ia tak bersuara maka akan semakin terperosok dalam dunia yang ditebar de­ngan hiburan sekedar sensasi. Banyak diantara kita yang larut dalam tertawa yang tak menentu. Aplikasi goblok bernama Tik Tok itu semakin merajalela, banyak generasi kita akan hancur dengan aplikasi itu. Memang menghibur, namun kita harus sadari bahwa ada banyak hiburan itu bukan sebagai penenang malah sebagai penghancur. Lihat betapa lucunya, generasi kita semakin mempertunjukkan kebodohannya serta kegilaannya dan ia bangga dengan sensasi bodoh yang berlebihan tersebut. Tentu sakit pikiran kita melihat hal tersebut. Dan pembaca khusunya penulis alangkah baiknya memfokuskan pikiran mengenai bahaya aplikasi Tik Tok tersebut. ***

Penulis adalah pemikir Filsafat berdomisili di Rantauprapat.

Opini ini dimuat pertama kali pada hari Kamis, 28 Juni 2018 di Koran Harian Analisa

Responses (1)