Abdi Mulia Lubis
4 min readSep 16, 2019

Perang Dagang Melawan Kapitalisme

Yang kita pelajari untuk men­da­pat pegangan dalam berdagang adalah jangan pernah berharap bila mem­ba­ngun usaha dengan men­dapa­tkan un­tung cepat, tetapi ber­pikirlah bagai­mana agar produksi penjualan bisa melaju tanpa henti de­ngan mene­tap­kan harga yang se­suai kantong ma­sya­rakat dimana pem­beli tidak merasa ter­cekik bila mengeluarkan uang di dompet.

Dengan mendapatkan untung 1000 rupiah saja dengan penjualan yang laris manis itu jauh lebih baik ke­tim­bang menetapkan harga di­atas puluhan ribu rupiah tetapi tidak ada satupun penjual yang mau mem­beli. Pe­ngalaman itu saya pe­­la­­­jari dan pe­ngamatan saya sete­lah membaca le­bih dalam tentang apa yang tengah ter­jadi saat ini me­­nge­nai perda­gangan, bahwa be­gitu banyak orang yang men­g­gebu ingin membangun usaha agar cepat suk­ses tanpa memikirkan stra­tegi khusus berupa proses yang sesuai de­ngan keadaan wila­yah sekitar. Ba­nyak yang dian­tara kita ingin suk­ses maka kuncinya mulailah de­ngan ber­jualan dagang bukan main game PUBG begadang berbulan-bulan hingga badan kurus tak bergairah.

Sadar akan keriuhan mengenai perdagangan ini seperti mendekon­struksi ulang paradigma umum bahwa ada persepsi yang perlu diperbaiki oleh masyarakat saat ini yaitu ja­nganlah berpangku pada sawit saja sebab minyak sudah melimpah hingga harga sawit akan mengalami penuru­nan drastis yang bisa jadi tidak ada harganya lagi, maka yang dibutuhkan adalah impor besar-besaran dengan tidak menjadi munafik dengan menghilangkan gengsi impor dari Tiongkok. Bahwa Tiongkok tidak se­buruk apa yang menjadi gosip di pasar­an dan hoax mengenai Tiongkok harus bisa disharing agar tidak men­jadi peni­puan publik sehingga tidak banyak yang terkecoh mengenai hoax yang tak berhenti, yaitu meme­rangi segala berita yang merusak dan menghen­tikan segala upaya dari meningkatnya harga suatu brand kelas atas.

Dalam hal ini perlu diutarakan bah­­wa saya bukanlah motivator bis­nis usaha agar cepat laris manis dan mungkin tidak memiliki ka­pa­­si­tas untuk memberi masukan me­lain­­kan dapat melihat pertimba­ngan apa yang terbaik, tetapi ka­ca­­­mat­a pengamatan sosial saat ini me­­­mu­ngkinkan semua orang bisa me­lihat dan merasakan ketim­pa­ngan apa yang tengah terjadi dan bagai­­mana solusi terbaik untuk meng­­hadapi ketimpangan nasional saat ini yang heboh mengurus aga­ma, maka bila kita saksikan bahwa rakyat kita terlalu sibuk mengurus agama dan lupa membaca realitas keadaan.

Pada awal tahun 2000 an kita terbawa pada arus nama brand yang tertinggi agar dapat membeli suatu barang, namun di tahun 2010 an keatas hingga saat ini hal itu kini su­­dah be­rubah, orang berbondong-bon­dong untuk membeli barang yang bisa di­manfaatkan dengan baik dari Tiong­kok tanpa harus mem­per­salah­kan na­ma brandnya. Trump menga­ta­kan pe­rang Dagang yang berujung pada blunder yang sebe­nar­nya perang Dagang mela­wan har­ga kapitalisme, te­­tapi ia tidak memikirkan sebuah spekulasi yang menyeluruh bahwa yang harus diperangi adalah kapitalis­me yaitu berhenti memberi harga ti­nggi secara berlebihan dan berilah harga yang layak kepada rakyat de­ngan arti yang sesuai dan tidak mem­bebani si penjual untuk membeli­nya. Dan kita sebagai rakyat tidak lagi mempermasalahkan hape me­rek Apple karena sudah banyak masyara­kat kita yang beralih ke Vivo, Oppo, dan Xiaomi yang mem­buktikan bah­wa untuk apa meng­ha­biskan uang ber­juta-juta untuk hape de­ngan brand tinggi toh spesifika­sinya sama bahkan lebih canggih.

Disinilah kita menyadari bahwa upaya Tiongkok dalam memberikan harga murah harus diapresiasi dan ini tentu harus memberi kesadaran kepada pengusaha bahwa rakyat jangan ditekan dengan harga mahal. Berani bersaing dalam berdagang artinya berani memberikan harga yang tidak menyiksa kepada pe­langgan.

Produk Tiongkok

Bicara perihal kualitas produk mari kita bicara mengenai spesifikasi suatu barang dan jangan dipengaruhi oleh nama suatu brand. Earbuds Haylou GT1 produksi Tiongkok yang bisa di­da­patkan dengan harga 268 ribuan di Lazada tidak kalah saing jauh secara spekulasi dengan Earbuds Apple yang da­pat dibeli dengan harga 2 jutaan bah­­kan mendekati 3 juta di pasaran. Si­lah­­kan bandingkan dengan speku­lasi dan ketahan dari kedua earbuds ter­sebut dan kita akan dapat melihat bahwa ketimpangan harga itu terdapat dari suatu brand yang terlalu meng­ge­bu memberi harga tinggi padahal se­mua kelompok harus dapat membeli.

Artinya bahwa rakyat sudah bijak dan tidak mau tertipu dengan nama brand yang tinggi. Tiongkok me­mi­liki masa depan investasi yang cerah dan Indonesia harus membuka pintu, dan jangan sampai gengsi. Pilihan­nya adalah lebih baik bila Tiongkok mem­­buka impor yang besar dengan har­ga yang terjangkau ketimbang Im­por dari Amerika dengan harga yang tinggi.

Kejayaan Huawei yang mulai perlahan bangkit melampaui Apple kini menjadi kegalauan Trump te­r­khu­­­sus­­nya Perusahaan Amerika me­nga­lami ketakutan massal pada Tiong­kok dan membuktikan bahwa upaya pemikiran kiri yang diwaris­kan oleh Marx dan Engels terbukti am­puh meruntuhkan kelas atas wa­lau harus mengalami proses ratusan tahun lamanya dan prediksi Karl Marx tidak lama lagi akan terwujud.

Saya mengamati dan melihat secara keseluruhan bahwa peruba­han yang cepat ini tidak hanya men­jadi mo­tivasi Amerika saja, bagi Tiongkok ber­pikir 24 jam dalam sehari saja ma­sih belum cukup sebab yang menjadi misi besar Tiongkok adalah bagai­mana ia terdepan dalam menghasilkan ke­ca­ng­gihan teknolo­gi dari suatu pro­duk dan ini sudah per­lahan terwujud. Bahwa brand tidaklah menjadi utama melainkan ba­gaimana semua orang harus dapat menikmatinya.

Harian Analisa, 3 September 2019

No responses yet