Abdi Mulia Lubis
4 min readFeb 9, 2018

Rasionalitas Waktu

Menjadi tak beragama namun mempercayai satu keberadaan yang memiliki nilai hakiki yang paling tinggi adalah suatu hak kebebasan yang boleh dimiliki oleh siapapun, selama ia berada dalam satu negara demokratis, cinta kepada kema­nusia­an adalah cinta kepada ketuha­nan, karena berkum­pulnya kebersamaan adalah cinta ke­pada setiap kekura­ngan.

Kecintaan terhadap kehidupan masa kini tanpa merasa terbebani akan surga dan neraka adalah salah satu etika humanisme yang wajib disyukuri bagi siapapun. Dalam dunia akademis, seseorang dibebaskan untuk berpikir apapun yang berselan­car dalam imajinasinya itu tanpa harus terancam akan persoalan iman. Misalnya salah seorang tokoh sosial mengatakan : “Saya boleh dikatakan kafir, liberal, ateis, namun jangan se­kali-kali katakan saya front pem­bela agama, karena saya adalah front pembela kemanusiaan yang rasional, tuhan sekali-kali tidak pernah men­celakakan makhluk ciptaannya dengan agama”. Karena toleransi bukan hanya untuk mereka yang beragama melainkan toleransi kepada mereka yang tak beragama. Sehingga sensasi ketuhanan itu tidak ditutup-tutupi oleh cover agama.

Mencintai ilmu pengetahuan berarti mencintai hidup kemajuan bagi peradaban, kita sebagai manusia di dalam suatu pertemuan bisa tukar tambah perspektif dalam berdiskusi tentang ide-ide serta gagasan, tetapi kita tidak dapat tukar tambah iman dalam soal toleransi. Yang menjadi membuat orang selama ini kejang-kejang karena agamanya dituduh radikal adalah orang yang tak mema­kai rasionalitas nya, ego diuta­makan namun nalar tumpul, ia terlalu takut dan beranggapan surga itu sempit sehingga ia senang membuat telunjuk kepada mereka yang dituduh sesat. “Anda sesat, anda pasti masuk neraka, anda kafir”, ialah suatu tuduhan tanpa menunjuk diri­nya sendiri, betapa keji dan sakit otak mikirnya kenapa di zaman se­perti ini kekerasan masih dikonsumsi.

Agama yang paling benar di sisi Tuhan adalah kemanusiaan yang adil dan beradab. Tanpa merasa paling beriman dan dijamin masuk surga, memang adakalanya kesantunan itu harus sejajar dengan eksistensialisme. Berlaku keras namun tidak mencip­takan kegaduhan, belajar mempela­jari buku-buku kiri karena banyak para tokoh bangsa yang rajin menda­lami pemikiran eksistensialis. Negara sudah selayaknya mempertajam pemi­kiran rasional yaitu dengan tidak me­maksa agama itu turut adil dalam keputusan dan kebijakan. Tuhan telah menuntut manusia untuk bebas ber­pikir dan bijak dalam menye­suai­kan diri terhadap kejutan akan perubahan.

Pada suatu titik sesuatu pasti bera­wal dari ketiadaan, novel Dunia So­phie karya JosteinGaarder berpe­ran besar dalam memperluas sudut pan­dang manusia terhadap kehi­dupan. Kita tidak berpikir lagi tentang ibadah memperbanyak pahala melain­kan ibadah yang mempertajam pikiran. Ibadah itu telah mengalami fase me­nuju ibadah intelektual. Ibadah inte­lektual adalah ibadah yang me­nge­depankan pemikiran daripada keya­kinan agama tanpa memperjelek aga­ma. Kita hidup bukan untuk men­caci maki agama namun untuk me­nuntun agama berpikir secara rasio­nal. Kita bisa hidup dengan jutaan buku namun kita tidak bisa berdiri dengan satu kitab suci, artinya bahwa perpus­takaan itu ialah tempat menuju surga pemikiran, manusia ingin bebas de­ngan memperbanyak bacaan yang ingin ia baca sebagai kebebasan individu bukan kepentingan individu, karena kepentingan individu merupakan kera­kusan yang bertujuan memperkaya diri sendiri dengan memperbanyak harta, sementara kebe­basan individu ialah suatu upaya mempertajam pikiran dengan memperbanyak bahan bacaan. Berpikir itu penting bahkan membaca buku berat itu kewajiban karena untuk menjadi sehat jasmani manusia harus sehat pengeta­huan.

Ketakutan terhadap waktu harus dicegah dengan ketakutan terhadap karya, karena yang fana adalah waktu, sementara karya seseorang lah yang menentukan keabadian dimata pem­baca. Dalam berkarya sering kali ditemu­kan kontroversi, dan ktroversi itu wajar-wajar saja, bila orang dengan cepat menuduh karya itu sesat itu pertanda bahwa yang menuduh tidak menggunakan pikiran sebagai analisis melainkan keyakinan beragama. Tidak ada yang salah dengan agama melainkan orang yang beragama selalu menyimpang dan memakai agama sebagai topeng politik

Waktu terus berjalan tanpa pernah menegur manusia sedetikpun untuk berhenti. Matahari terus beredar pada porosnya tanpa pernah lelah menerangi dan menghidupkan alam disekitar. Manusia berusaha terus menjadi yang terbaik, berjuang untuk memberi arti bahwa langkahkan semangat tanpa henti untuk terus berjuang sampai akhir dan jangan berhenti walau lelah terus menghantam tubuh. Selama masih bisa bernafas perjuangkan sesuatu yang memberi makna pada kehidupan. Ada banyak hal yang bisa disaksikan, mereka yang ada selagi butuh maupun mereka yang pergi setelah keinginan tercapai.

Kita tak bisa memastikan orang yang ada maunya ataupun orang pura-pura menjadi sahabat padahal ada maksud tertenu, namun inilah dunia yang menyadarkan kita bahwa memberi tanpa harus menuntut untuk dipuja. Dilihat dari segi manapun Manusia ingin dikenang, abadi sepanjang kenangan orang-orang yang ada disekitarnya, bukan disanjung-sanjung mendapatkan perhatian untuk suatu projects agar bisa berjalan , uang dan kekayaan tidak abadi melainkan karya seseorang lah yang bernilai menentukan panjang umur yang lahir dari kecerdasan pengabdiannya kepada bangsa. Kahlil Gibran mengatakan, “Kesena­nganmu adalah kesedihan yang tersembunyi dan dalam diri yang sama dari mana tawamu bangkit adalah diri yang sering kali kaupenuhi dengan air mata,” semakin dalam kesedihan menggali lubang dalam wujudmu, semakin banyak kesenangan yang aman dapat kau tampung. Semasa kecil manusia belum ber­pikir oleh waktu, ia hanya bahagia dengan hidup yang tengah ia jalani, berlari kesana-kemari melepas canda tawa bersama teman-teman, namun setelah mencapai umur puluhan tahun manusia merasa kehilangan, merasa takut terhadap waktu dan berusaha menuju keabadian.

Sebagai suntikan inspirasi manusia Jangan cepat mengambil keputusan untuk putus asa, dan jangan cepat memutuskan kapan ia ber­akhir, umur manusia bukan seperti baterai handphone yang memiliki batas akan berakhir, manusia harus menghindari pemikiran sakit terhadap waktu. karena yang dibutuhkan ada­lah pemberontakan secara rasionalitas bahwa selama masih bernafas pantang berpikir untuk berakhir.

http://harian.analisadaily.com/mobile/opini/news/rasionalitas-waktu/500648/2018/02/07

Responses (1)