Semangat Intelektual Berideologi Kiri
Tidak semua buku dapat dibaca, tapi jikalau kita mau ambil satu akar filosofis yang mampu menggairahkan semangat intelektual dalam berpikir maka buku-buku terbitan dari penerbit Resist Book Yogya adalah kuncinya.
Saya tak ingin cepat-cepat memberi keputusan tanpa pertimbangan yang matang karena sepengalaman saya yang tak bermaksud meninggi telah membaca ratusan buku kiranya penting untuk berbagi pengalaman membaca buku-buku berat nan sejuk untuk generasi millenial masa kini.
Yang kiri yang memberi jalan tengah dalam menuju pembebasan. Kita harus sepakat dalam menentukan jalur sikap anti kapitalisme menuju kesetaraan tanpa harus cepat-cepat mengharamkan membaca buku, karena tak ada satupun dalil yang mengatakan bahwa membaca buku itu haram. Semakin buku itu dibredel dan semakin buku itu dibakar maka akan semakin besar pengaruhnya bagi pertumbuhan pemikiran. Akal kita harus dipupuk dengan buku-buku kiri, jiwa kita harus memerah sebagaimana selayaknya darah yang berwarna merah karena kita percaya bahwa setiap warna memiliki makna filosofis nya masing-masing. Membaca adalah kunci dan membaca adalah seni pembebasan.
Haruki Murakami mengatakan “Kalau engkau hanya membaca buku yang dibaca semua orang, engkau hanya bisa berpikir sama seperti semua orang.
”Generasi kita telah banyak dihantui bacaan yang menguras air mata, puitis namun bertujuan melemahkan mental. Membaca itu penting namun jikalau hanya membaca apa yang tengah viral dan terpatok kepada cover buku yang cantik maka hilanglah semangat jiwa revolusi.
Dalam pemikiran saya bahwa semakin buku itu dikecam untuk di diskusikan maka semakin besar manfaatnya bagi mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tiang bernegara dan mencerdaskan kehidupan beragama adalah kunci untuk menghentikan peperangan kebencian. Agama mayoritas tak selamanya menjadi patokan, toleransi harus digencar tanpa pandang siapa yang paling banyak melainkan bagaimana menjadi rukun dalam perbedaan.
Pasal penodaan agama harus direvisi bahkan bila perlu wajib dihapuskan. Jika Tan Malaka masih hidup dan kita pertimbangkan bagaimana buku Madilog sebagai kitab suci kebangsaan sebagai dalil revolusi maka takkan ada yang namanya penodaan agama dalam bernegara.
Majelis Pemikiran Kiri harus dibentuk dan negara harus mensubsidi para pemikir dalam mengupayakan solusi menghadapi ketimpangan di negara ini kepada pejuang kemanusiaan bukan kepada pemuka agama. Pemuka agama hanya fokus kepada satu kitab suci sementara pemikir Marxis melahap semua buku yang ada.
Kita berharap kepada Martin Suryajaya, Ronny Agustinus, Kampung Buku Jogja dan website indoprogres.com sebagai pemuka intelektual berideologi kiri dalam menggerakkan saran buku-buku bagus demi tercapainya gagasan serta pencerahan.
Apa yang terjadi saat ini dalam kampanye adalah banyaknya para tokoh yang pergi ke kota suci lalu berfoto kepada seorang tokoh pemuka agama yang sudah lama tak pulang ke tanah air, berfoto di tanah suci sebagai lambang bahwa tokoh tersebut pro agama. Kita tak ingin tanah yang begitu suci dijadikan kampanye bahwa dengan berfoto dengan salah satu tokoh pro pembela agama maka pencitraan meningkat naik lebih tajam. Seakan-akan kampanye tersebut sangat mainstream tapi tumpul ide, tidak ada ide maupun inspirasi yang bisa diserap sebab rakyat sangat membutuhkan rangsangan revolusi.
Kota tak akan menjadi suci bila didalamnya berisi orang-orang yang berlindung di balik kampanye politik identitas.
Dalam pemikiran Aksin Wijaya penulis buku Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia ia menulis: “Agama hadir untuk membela manusia, bukan untuk menghancurkan manusia.
Hidup harmonis dan damai di antara umat beragama menjadi cita-cita mulia agama itu sendiri.” Hanya dalam keberagaman kita mengenal persatuan dan hanya dalam kebebasan berpikir dan terbuka terhadap setiap perbedaan maka kerukunan akan terjaga. Bila masing-masing para pemuka bersikeras terhadap satu teologi dan menyuarakan kebencian hanya karena bersikukuh bahwa “hanya boleh ada satu ada” maka disitulah bermula lahir doktrin radikal berujung terorisme. Para atlet berupaya memaksimalkan untuk menyumbang emas sementara para pemuka sibuk menyuarakan kerusuhan. Kita terlalu mudah naik tensi tersinggung dalam perbedaan dan itu tidaklah baik. Kita saat ini hidup di era dimana produksi dan penyebaran kebencian, fitnah, dan adu domba berlangsung setiap saat dengan kecepatan melebihi kecepatan cahaya.
Kita seharusnya berpikir progresif, berpikir progresif artinya mengupayakan agar tidak terlalu fanatik memuja-muja agama maupun nabi. Nabi harus dilampaui, layaknya adalah seorang pembalap untuk menjadi terdepan ia harus berusaha bersaing dengan salah satu pembalap yang ia kagumi sebagai inspirasi. Dari sinilah kita terinspirasi untuk mengubah pendidikan agama menjadi pendidikan sosialisme. Beragama tanpa nyinyir, beragama tanpa kebencian, sebagaimana yang dikatakan Bertrand Russell dalam judul bukunya “Bertuhan Tanpa Agama” sebab dari situlah kita bercermin untuk tetap belajar tanpa henti dan tidak merasa puas apalagi suci dengan suatu pencapaian.
Kita membutuhkan perspektif yang lebih beragam bukan harus terpatok pada riwayat untuk merasa paling benar. Setiap manusia memiliki kebaikan masing-masing di dalam dirinya tanpa harus dipaksakan untuk nurut asal mau.
Koran Harian Analisa, Senin, 10 September 2018.