Abdi Mulia Lubis
4 min readFeb 15, 2020

Tafsir Pemikiran Realitas Fundamental

Yang utama dan yang menjadi peran penting dalam kehidupan ini adalah menikmati sebaik mungkin apa yang kita miliki saat ini tanpa harus tersiksa dengan pikiran bagaimana kehidupan kelak setelah kematian. Pikiran tentang bagaimana nanti di alam kubur atau adakah arwah kita naik ke langit ketujuh menuju surga adalah suatu pikiran yang berada di luar batas kemampuan manusia.

Yang harus kita pikirkan adalah bagaimana kehidupan di bumi ini menjadi baik, bagaimana kita yang ada saat ini dapat menikmati hidup dengan semaksimal mungkin. Persoalan bagaimana Tuhan itu wujudnya, bagaimana paras malaikat hendaknya itu berada di luar kesadaran kita, waktu sangat sedikit untuk memikirkan yang ghaib karena ada hal yang harus diutamakan dalam hidup ini yaitu kebutuhan materi.

Sejak kapan manusia itu terhenti dan masa kejayaan renaisans berhenti yaitu sejak agama sudah mulai menebarkan kebencian diatas desakan iman yang memaksa sehingga terjadi ketimpangan antara kemanusiaan dan ego dogma agama. Agama itu mengundangkan keben-cian, daripada menjadi benci lebih bagus agama itu sendiri yang dibenci agar kita mampu mengendalikan diri dari lingkungan dalil yang menyalahi aturan.

Agama harus disingkirkan dari pelajaran kehidupan, agama harus dihapuskan dari materi kurikulum pelajaran, agama harus dijadikan sebagai tempat biasa saja sehingga jangan sam-pai ada lagi pelajaran agama yang diwariskan kepada generasi kita kedepannya. Agama tidak bisa memberikan jalan terakhir ketika segala sesuatu tidak bisa dipecahkan, jalan terakhir harus diberikan kepada sains bukan kepada pemuka agama karena agama hanya menjadi penghalang manusia saja untuk berpikir progresif dalam berkarya menciptakan peradaban baru.

Itu makanya tidak boleh ada ruang bagi pemuka agama dalam sem¬ba¬rangan berorasi, para pemuka agama harus memfokuskan dirinya kepada per¬baikan akhlak dan sikap, jangan pak-sa orang lain untuk menjadi suci tapi belajarlah bagaimana memperbaiki diri lebih awal dulu sebelum patentengan mengubah orang lain.

Yang jujur-jujur sajalah kita hidup sebagai manusia yaitu kita membutuhkan uang dan kita tidak bisa berpura-pura menjadi ulama lalu mendapat suara banyak lalu menduduki kursi kekuasaan sementara di waktu berada di kekuasaan ia melakukan dosa besar yaitu korupsi puluhan miliar. Artinya bahwa jangan sampai niat itu menjadi busuk karena tergesa-gesa di sesatkan oleh agama.

Masyarakat kita sudah bosan dengan yang namanya pencitraan agama, mereka tertekan berat dengan ekonomi yang besar, perut lapar dan keinginan yang besar tidak bisa ditutupi dengan hanya janji kehidupan surga belaka. Berpikirlah realistis wahai pemuka agama, jangan tawar-tawarkan janji busuk surga yang kau sampaikan kepada masyarakat. Pikirkan bagai-mana agar perekonomian negara ini membaik baru kau pikirkan surgamu itu.

Bagaimanapun keadaan pada masa kini memang membutuhkan perubahan yang lebih signifikan kepada kebutuhan manusia itu sendiri, ketika banyaknya perusahaan telah menggantikan buruh mereka menjadi robot maka PHK besar-besaran tidak terelakkan. Akan begitu sulit bila hidup terkekang oleh canggihnya teknologi dan masa depan yang kita hadapi membutuhkan solusi yang jitu cepat dan tersistem demi kemanusiaan itu.

Tidaklah mungkin kehidupan ini diatur sepenuhnya oleh teknologi, suatu kemudahan yang dapat membuat manusia berhenti bergerak karena tak tahu lagi mau dibuat sebab semua sudah bisa dilakukan oleh robot.

Silakan berpuasa, tapi jangan mengancam semua orang ikutan berpuasa. Silakan beriman, tapi melaporkan ke polisi orang yang menolak beriman itu mentalitas dungu. Sekarang, bagaimana jika kata “berpuasa” itu kita ganti dengan “berduka” dan kata “beriman” dengan “percaya berita”?

Ketika seseorang suka dan merasa baik dengan keimanannya, maka semua orang ingin dijejali dengan keimanan yang sama. Ini ibarat seperti orang yang suka makan sate dan hendak menjejali semua orang dengan sate. Tetapi karena menjejali sate orang lain itu tidak hanya cukup dengan cuap-cuap, maka itu tidak dilakukan.

Point prinsipnya adalah “Baik dan nyaman buat dirinya, akan dianggap baik dan nyaman buat orang lain”. Semangat membagikan yang dianggap sebagai sebuuah kebaikan ini karena didorong oleh ajaran jalan emas yang dianut, “lakukan kepada orang lain seperti engkau ingin diperlakukan” Semangat jalan tengah ini biasanya didalam tradisi barat.

Untuk bisa mengendarai mobil atau sepeda motor, kamu harus membuktikan diri punya kompetensi berkendara yang dibuktikan dengan SIM. Kalau kamu ikut ujian berkendara dan tidak lulus, kamu harus ikut kursus berkendara, ikut ujian lagi, dan jika lulus akan mendapatkan SIM sebagai bukti kompetensi kamu dalam berkendara, bahwa kamu bisa berkendara dengan baik dan tidak akan mencelakai dirimu dan orang lain.

Hal yang sama berlaku bagi demokrasi. Dibutuhkan SIM demokrasi untuk memastikan bahwa hanya warga negara yang bisa “mengendarai” demokrasi dengan baik apakah sebagai voter maupun kontestan yang boleh terlibat dalam demokrasi.

Dari sini, kontestasi demokrasi kita yang sekarang terlalu sesak dengan sentimen populis dan sektarian akan bisa digeser ke sebuah epistokrasi, sebuah demokrasi berbasis kompetensi, di mana ide-ide dipertarungkan dengan argumen-argumen rasional.

Harian Analisa, 15 Oktober 2019

No responses yet