Teologi Maut Berujung Petaka

Abdi Mulia Lubis
4 min readMay 19, 2018

--

Hilangkanlah sikap purak-purak agar terlihat paling alim dan soleh di negara ini, sebab itu hanya akan menjadi beban ideologi negara. Kesolehan dan iman itu hak privasi antara individu dengan yang maha transendental. Manusia tidak ada urusan ikut campur mengenai dosa seseorang sehingga tidak ada yang namanya basa-basi untuk memper­banyak ibadah apa yang paling besar pahala sehingga biar bisa cepat masuk surga, dan kalau bisa paket satu keluarga.

Mereka yang meneror tertawa merasa puas dengan teror yang dilakukan dan kita yang ratusan juta orang bagian dari bangsa ini akan menjadi tumbal akibat sepele akan hal tersebut. Kita tidak tahu besok atau beberapa hari lagi korban bisa jadi semakin banyak yang berjatuhan. Mudah-mudahan tidak, tapi kita tak bisa sekedar berharap dan semoga, karena bagaimanapun marilah saling me­rang­kul gagasan bagaimana agar hal ini tidak terulang kembali dan mengingatkan.

Janganlah terlalu cuek untuk menyikapi teror yang tengah terjadi di negara dan marilah turut serta untuk memberantas doktrin yang tak bermoral.

Jadilah diri sendiri tanpa saling klaim surga itu milik siapa dan berupayalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bukan untuk menghasilkan bangsa yang Soleh melainkan dalam berpikir rasional yang berusaha keluar dari doktri­nasi. Meragukan keyakinan teologi tersebut sebagaimana ia mera­gukan dirinya sendiri demi tercapainya penceharan dalam memaknai kehidupan.

Kebaikan dalam beragama bisa menjadi beban bagi ratusan juta bangsa Indonesia yang tengah menikmati pesta demokrasi. Kalau lah betul surga itu bisa dicapai hanya dengan meledakkan diri maka yang patut menjadi tersangka adalah keyakinan atas iman itu. Kenapa doktrin itu masih ada di negara kita dan kenapa pemerintah tidak tegas dalam menghentikan doktrin teologis tersebut ?

Masihkah negara kita meng­halal­kan doktrin tersebut sebagai bagian dari persatuan dan kesatuan Indonesia ? Sudah selayaknya organisasi-organisasi terlarang itu dihapus dan beri kesempatan kepada para akademisi untuk berupaya berpikir dalam bagaimana menciptakan keadilan yang setara tanpa mempersoalkan siapa bakal masuk neraka.

Kalau kita perhatikan secara seksama, manusia enggan berpikir kritis disebabkan suplai teologi yang begitu banyak sehingga terjadi pembekalan yang membuat manusia itu malas berpikir. Dalam hatinya akan terucap ngapain berpikir kalau junjungan sudah ada.

Junjungan inilah yang menye­bab­kan manusia malas berpikir dan bertindak lebih cerdas, terlihat sedikit radikal tapi beginilah adanya, kenyataan itu tak bisa terelakkan bahwa manusia harus meninggalkan doktrin konservatif menuju wilayah progresif. Sehingga Publik tidak merasa sudah dirasuki oleh semacam kegairahan bahwa ini ada tokoh yang gak mungkin digantikan.

Buntu dalam berpikir

Berkompetisi untuk masuk surga menye­babkan orang yang beragama itu buntu dalam berpikir untuk menghasilkan keadilan dan terpatok pada ibadah memupuk bekal akhirat, inilah yang menya­lah dan perlu untuk mengoreksi kembali hirarki dalam agama.

Dengan menggantikan supaya berkom­petisi untuk menaikkan IQ nasional semakin tumbuh sehingga bisa membedakan mana aja­ran yang rasis berupa topeng agama. Indonesia tidaklah seperti itu sebab Indonesia adalah negara berbasis kedaulatan.

Mikail Bakunin mengatakan dalam buku God and State bahwa Tuhan dalam perspektif agama harus dipisahkan dari agama karena tidak ada yang namanya kemerdekaan dan kebebasan dengan kesolehan. Sedikit terlihat ekstrem namun alangkah baiknya untuk dipertimbangkan pemikiran tersebut.

Seorang beragama yang seder­hana mungkin hanya akan mencari dalam apa yang dikatakan oleh agamanya. Orang bera­gama yang ber­pen­didikan akan minta juga pandangan ilmu pe­ngetahuan dan filsafat, sedangkan orang yang tidak beragama akan mencari jawabannya ha­nya dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Ia akan berusaha untuk menemukan kemung­kinan terakhir dan dalam hal ini sekaligus ia men­dapatkan makna kehidupannya.

Semakin banyak para pendak­wah yang mera­sa suci dengan jutaan pengikut di sosial media itu menunjukkan bahwa bangsa kita mengalami defisit kemunduran intelektual dan tak mampu meng­hasilkan yang namanya kemanu­siaan yang maha kreatif, karena semakin orang merasa suci maka semakin hilang kesadarannya untuk ber­pikir berat, jangankan untuk berpikir berat, untuk bertanya sedikit saja ia tidak mau, karena takut dengan ancaman teologi.

Takhayul membakar dunia maka filsafat memadamkannya, begitulah kata Voltaire. Saya mencoba untuk menulis secara santun namun perasaan itu akan melunak bahwa dibawah langit ketika Tuhan telah mencipta­kan manusia menurut pandangan filsuf bera­liran daisme bahwa Tuhan tidak ikut campur apa yang akan dilakukan manusia dan Tuhan memberi kebebasan bagai manu­sia menjadi dirinya sendiri. Artinya bahwa manusia bisa mengatur dirinya sendiri untuk menghasilkan keadilan tanpa perlu pergi ke surga. Bila kita menerima adanya nasib, hi­lang­lah begitu saja kemungkinan bahwa kita bebas karena seluruh riwayat hidup kita telah ditentukan.

Misi kita bersama adalah bersatu tanpa membedakan mana yang paling benar secara keya­kinan teologi melainkan saling berbagi pengetahuan melalui filsafat. Filsafat jangan disalahkan sebagai pelajaran tidak baik, filsa­fat adalah suatu upaya untuk memper­tanya­kan diri sendiri, belajar mengkritik tanpa ha­rus menjatuhkan, filsafat ialah awal dasar bagaimana manusia mem­bangun logika dan menghasilkan argumentasi dengan jitu.

Dengan belajar filsafat kita bergaul untuk menjadi warga nega­ra yang adil dan merdeka secara prinsip. Manusia tidak boleh menyerah dengan keadaan melain­kan tetaplah berupaya berpikir, manusia tidak mengelak dari kesalahan karena dari kesalahan lah manusia akan berpikir untuk menjadi lebih baik.

Manusia adalah makhluk yang berpikir sebagaimana yang dika­takan oleh Aristoteles bahwa manusia adalah logos/makhluk yang berpikir. Seburuk-buruknya binatang tidak pernah menyuruh anaknya untuk masuk ke lobang jurang kesesatan apalagi menyuruh dengan meledakkan diri sendiri.

Jadilah manusia yang berpikir untuk berani mengkritik suatu doktrinasi agar bisa terlepas dari penjara teologis, kehidupan yang kita jalani kini dan nanti adalah semakin hari semakin berat, jika manusia meletakkan hara­pan pada sekedar keyakinan maka besar ke­mungkinan takkan dicapai suatu kemajuan, terlalu mudah memberi harapan pada yang berbau teologis maka terlalu dangkal manusia untuk menga­nalisis suatu perkara tentang fenomena yang terjadi disekitarnya.Tak bisa dihindari bahwa hidup adalah belajar dari sejarah dan hidup harus dijalani kedepan tanpa terkungkung oleh doktrin konservatif sebagaimana yang ditu­liskan filsuf eksisten­sialisme Soren Kierke­gaard dalam diary catatannya. Bisa disimpulkan bah­wa dengan mempelajari filsafat perlahan kema­nusiaan akan merdeka menuju etika berbasis kemerdekaan.

Penulis adalah pemikir Filsafat berdomisili di Rantauprapat

Opini ini dimuat Koran Harian Analisa pada hari Sabtu, 19 Mei 2018

--

--

No responses yet