Abdi Mulia Lubis
4 min readMar 3, 2018

Tetaplah Menjadi Seadanya

Sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengenang kepergian bukan sebagai penyesalan melainkan kesedihan yang memiliki sisi terindah, mengapa dulu yang telah terlewati masih ada diwaktu saat ini, dan kenapa ba­nyak diantara kita suka mendengar lagu sedih ketimbang lagu yang membuat goyang-go­yang. mungkin dirimu tak ingin seperti itu, dikatakan sulit melaju atau bangkit mene­mukan keceriaan.

Disaat hari-hari yang penuh cahaya datang menyinari, teman disekitar ada menikmati keceriaan se­dangkan diri masih tetap menikmati pedihnya kegelapan. Ini adalah sisi yang banyak dimiliki seorang wanita, na­mun pria harus memahami tak seharusnya bangga diatas pende­ritaan huru-hara. Lalu timbullah suatu pertanyaan, Apakah suatu ke­betulan saja semua ini terjadi ? atau ha­ruskah se­mua kepedihan terencana dengan selogisnya sehingga tak ada lagi luka diantara waktu? Hal yang terberat adalah ketika dirimu tak kuasa terus menghitung apa yang belum tersampaikan, keinginan dan keme­wahan apalagi yang belum terujud, karena seindah apapun perasaan keinginan itu selalu ada prinsip matematika yang rumit didalamnya, jika cepat-cepat menyerah timbullah sikap acuh seperti, “entahlah atau bantelah” sese­orang hanya melihat seadanya dan tak mung­kin menafsir aegalanya.

Seorang filsuf pernah berkata kau tak bisa menjadi dirimu karena ada sesuatu yang telah mengubah prinsipmu, nafsu yang terlampau melampaui nurani, sehingga keyakinan ter­belah pada harapan ingin disayang namun tak pernah mengerti. Perasaan memang serba salah, kau ingin meraih segalanya namun tak bisa menetapkan satu hati. Kesetiaanmu ter­tahan dikarenakan dunia memiliki aneka ra­gam di dalamnya sehingga sedikit demi se­dikit mudah menyukai hal baru dan melu­pakan impian yang telah lama. Ang­gaplah dunia sementara, namun nafsu di dalam diri ingin selamanya. Cintamu pada keluarga ada­lah akhir dari segala harapan, kebim­bangan menjadi semu seakan ada saja yang me­mang­gil. Ya, pertanyaan itu me­manggil-mang­gilmu dan kau tak tahu harus berbuat apa.

Maafkan segala waktu, maafkan satu detik yang terasa berat untuk diikhlaskan.

Dunia ini adalah tempat dimana manusia sa­ling mengejar, tak ada yang lebih penting di­­kejar selain mencukupi kebu­tuhan hidup, ketika kebutuhan hidup telah terpenuhi, maka timbullah keinginan nafsu, mungkin tak sepe­nuhnya kita miliki, namun orang di­sekitar, orang terdekat, ia memiliki keinginan yang harus terpenuhi dan kita bimbang sulit me­no­lak untuk mewujudkan. Ya, namanya keingi­nan­nya juga kewajiban kita untuk memenuhi.

Berjalanlah diatas keraguanmu hingga kau tak menyadari bahwa keraguan itu tak ada. Kita sering mengeluh, lupa akan apa yang telah kita miliki, larut pada kesedihan yang tak mampu kita atasi sehingga bukan hanya setan yang merasuki pikiran kotor melainkan ketakutan dan kecemasan.

Jalan yang panjang terasa cepat untuk di­lalui, sedangkan jalan yang pendek terasa su­lit untuk direlakan. Kesiapan kita tidak sekuat mental para pendahulu, kita terkung­kung pada meningkatnya harga-harga yang tak harus disalahkan melainkan memang sudah menjadi koderatnya suatu barang yang har­ganya terus meningkat. Rasa sesal takkala me­lihat perjuangan berjam-jam dibayar de­ngan murah. Sehingga kadangkala tim­bullah keinginan untuk mencari kerja apapun asal mendapat pemasukan yang tinggi. Mungkin dari ucapan kita tak bisa mengatakan kesem­barang orang bahwa kita telah melakukan banyak keburukan, bahkan kepada keluarga terdekatpun harus tertutupi karena biarlah diri sendiri yang menanggung dosa besar ketim­bang bersalah tak mampu memberi naf­kah.

Bagaimana dirimu merencanakan sesuatu yang telah menjadi takdirnya ?

Ini adalah pertanyaan yang tak seharusnya diutarakan namun sudah menjadi idealisme manusia untuk mencari penyebab sesuatu wa­lau tak sepenuhnya mampu ditemukan akar permasalahannya. Bicara perihal kete­tapan Tuhan dan kehendak manusia yang diatas logika adalah bicara mengenai waktu. Kita tak pernah puas dengan yang ada dan me­rasa selalu kekurangan, bagi lelaki maka wanita adalah pelam­piasan yang utuh. Lelaki berpikir siapakah yang lebih dulu pergi dirinya atau pasangannya, akan timbul pertimbangan ketika sang lelaki merasa kasihan pasangannya hidup sepi tanpa dirinya, atau sang lelaki yang lebih lama pergi dan meratapi hidup sepi.

Kita tak sampai berpikiran seperti itu, namun pertanyaan itu pastinya terlintas walau tanpa sadar untuk bisa dialihkan. Dari sinilah kita akan menemukan kesadaran betapa pen­tingnya filsafat. Filsafat, rumit diperdalami na­mun indah takkala memahami. Saat tua sering merenung dan berpikir, takkala muda sibuk bersenang-senang puaskan nafsu selagi bisa.

Dalam satu hari ada 24 jam, namun di­antara 24 jam itu ada satu waktu yang sangat berarti bagi seseorang dan sulit untuk dilepas yaitu waktu pada senja. Senja hanya ada be­be­rapa puluh menit namun kehadiran senja sangat berarti bagi kita. Senja Ditepi pantai menjadi lebih menginspirasi bukan sekedar merenung nasib, melainkan me­mantik kesa­daran diluar keinginan.

Di dalam diri manusia ada rasa sakit yang tak seharusnya diumbar-umbarkan. kita tak ingin berpura-pura hanya untuk dimengerti, atau kita tak ingin dikasihani hanya karena tidak kuasa, jangan sampai orang lain kasihan dan yang kita tunjukkan adalah berjuang mati-matian bukan sampai bisa namun sampai kita tak sadar ada rasa sakit di dalam diri.

Memang benar apa yang dikatakan HarukiMurakami : “aku bukan manusia, aku adalah mesin, mesin tak punya rasa sakit dan tak mudah mengeluh. Kita sebagai manusia me­mang membutuhkan mental yang kuat bukan sekedar mo­tivasi sahabat yang super. Karena dimanapun prinsip berdi­kari itu selalu ada jangan sampai terlupa.

Lebih baik pura-pura tegar daripada me­nunjukkan satu kelemahan agar dika­sihani. Jangan sampai kita dianggap pengemis kasih sayang, kalau dikota metropolitan kita banyak melihat pengemis yang pura-pura putus kaki­nya demi mengharap belas kasih, maka ja­nganlah kita menun­jukkan kesedihan kita didepan orang banyak, karena ada baiknya kita sendiri yang menikmati penderitaan itu ketim­bang membuat hidup orang makin susah.

Tulisan ini pertama kali dimuat koran Harian Analisa :

http://harian.analisadaily.com/mobile/opini/news/tetaplah-menjadi-seadanya/513530/2018/03/01

No responses yet