Abdi Mulia Lubis
3 min readMar 19, 2018

Tiga Menguak Keberadaan

Hidup yang tak direncanakan, seseorang yang lahir ke dunia tanpa pernah berunding maupun negosiasi kepada Tuhan kenapa harus dia yang lahir diantara yang lainnya ? Diantara kebimbangan akan makna hidup yang serba absurd ini, manusia mau tak mau bergegas cepat tanpa harus me­nimbang lagi namun jika ia tak mem­pertimbangkan kehidupan yang te­ngah ia jalani maka hampalah kebe­ra­daannya, seakan ia berjalan mengi­kuti arus tanpa sadar apa yang mem­bawanya bergerak. Problem dan ga­lau yang berkepanjangan yang dimi­liki para filsuf dari ribuan tahun hing­ga sampai saat ini ialah pada umum­nya sama, yaitu apakah tuhan itu ada atau tidak ? Tak ada satupun yang bisa memastikan, namun dari bera­gam penalaran dan penjelasan rumit yang digagas para filsuf terdahulu akan memperkaya pengetahuan ma­nusia.

Di dalam buku ini ditulis tiga biografi singkat filsuf yang tujuannya Menguak tabir pemikiran Filsafat Rasionalisme dan Empirisme. Filsa­fat telah jauh ada semenjak masa Yunani kuno. Dari zaman Socrates dan murid-murid­nya hingga masa sekarang ini, filsafat juga masih terus ber­kembang. Dari bebe­rapa za­man filsafat, salah satu zaman yang mengubah pe­mi­ki­ran filsafat ada­lah zaman filsafat mo­dern.

Aliran rasiona­lis­me yang diusung Des­­car­tes bertitik tumpu pada rasio (akal budi) manu­sia sebagai sum­ber pe­ngetahuan. Ra­sio­na­lis­­me adalah pa­ham filsafat yang me­nga­takan akal (rea­son) ada­lah alat terpenting da­lam mem­peroleh pe­nge­tahuan dan me­nge­tes pengeta­huan. Rasionalisme menga­jar­kan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir itu adalah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah logika.

Descartes membersihkan pikiran dari segala macam prasangka, asumsi, nilai-nilai, dan pengetahuan-penge­tahuan yang dimiliki manusia namun belum teruji kebenarannya, adalah se­buah cara dalam melakukan kera­guan metodis.

Menurut Descartes, semua itu sangat penting terlebih dahulu dibersihkan agar jangan menjadi penghambat untuk mencapai kebe­naran yang pasti. Di dalam kehidupan, misalnya, sesuatu yang sebelumnya diyakini atau dianggap benar, ternyata dalam perkembangannya setelah kita semakin dewasa dan mampu berpikir rasional, semua tidak sepenuhnya benar, ternyata dalam perkem­bangannya setelah kita semakin dewasa dan mampu berpikir rasional, semua tidak sepenuhnya benar. (hlm 42) Pemikiran lah yang tak dapat diragukannya, sebab jika ia meragu­kan, maka ia akan berpikir; jika ia berpikir berarti menunjukkan bahwa dirinya ada.

Sementara Spinoza, baginya di dalam dunia tidak ada hal yang ber­sifat rahasia, karena akal atau rasio manusia telah mencakup segala se­suatu, juga tuhan. Diantara para filsuf rasionalisme, Spinoza bisa disebut pemikir rasionalis paling ta­jam dan konsekuen. Seperti filsuf sezaman­nya, Spinoza bermaksud mengons­truksi sebuah metafisika dan etika mo­regeometrico, secara geome­tris dengan kepastian Apriori yang mu­tlak, bebas dari segala unsur empiris maupun kebetulan. Dari situ, ia ingin mengembangkan sebuah prinsip. Prinsip itu adalah kesatuan atau iden­titas segala-galanya. Oleh sebab itu­lah, filsafat Spinoza merupakan fil­safat identitas.

Kebaikan tertinggi bagi pikiran adalah pengetahuan tentang Tuhan, dan kebenaran tertinggi bagi pikiran adalah mengetahui Tuhan. Sejauh pikiran memahami sesuatu dengan petunjuk akal, maka pikiran sama-sama dipengaruhi oleh idde tentang sesuatu masa kini, masa lalu, atau masa depan. Yang paling me­nge­rikan dalam hidup ini adalah kenyataan akan ada­nya huku­man mati atas orang-orang yang ber­pikir bebas.

Deisme adalah sua­­tu aliran yang me­nga­kui adanya yang men­cip­takan alam semes­ta ini. Akan tetapi, setelah dunia dicip­takan, Tu­han menye­rahkan du­nia kepada nasibnya sen­diri. Se­bab, dia te­lah mema­sukkan hu­kum-hu­kum dunia itu ke

Deisme adalah sua­­tu aliran yang me­nga­kui adanya yang men­cip­takan alam semes­ta ini. Akan tetapi, setelah dunia dicip­takan, Tu­han menye­rahkan du­nia kepada nasibnya sen­diri. Se­bab, dia te­lah mema­sukkan hu­kum-hu­kum dunia itu ke dalamnya. Segala sesuatu berjalan se­suai dengan hukum-hukumnya. Manusia dapat menu­naikan tugasnya dalam ber­bakti kepada Tu­han dengan hidup se­suai dengan hukum-hukumnya akalnya.

Deisme dapat juga diartikan se­bagai ajaran yang menganggap dunia ini dicip­takan secara mekanistik, yaitu memiliki sistem yang teratur seperti mesin. Hubungan sebab-akibat atau kausalitas sangat dibutuhkan dalam hal ini. (hlm 102). Atas dasar ini, aliran Empirisme men­jelaskan bagai­mana subjek mempe­roleh pengalaman dan penga­laman akan mengajarkan sesuatu yang di­tangkap sebagai objek. Aliran Em­pirisme adalah aliran filsafat yang bersumber dari pengalaman. Pengala­man di sini dapat disebut dengan pe­nga­matan subjek tentang objek yang ada.

Pengalaman yang mengajarkan manusia sebagai subjek membu­tuhkan objek untuk diamati. Dalam buku ini, empirisme yang dianut oleh Berkeley menjelaskan bagaimana manusia memperoleh pengetahuan dengan mengamati objek yang disebut teori pengenalan.

Peresensi : Abdi Mulia Lubis, peminat Filsafat berdomisili di Rantauprapat

Judul : Descartes, Spinoza&Berkeley
Penulis : Aquido Adri & Syaiful Hadi
Penerbit : Sociality (Anak Hebat Indonesia)
Cetakan : Cetakan Pertama, Desember 2017
Tebal : viii + 144 halaman
ISBN : 978-602-5469-73-2

http://harian.analisadaily.com/mobile/resensi-buku/news/tiga-menguak-keberadaan/521207/2018/03/14

No responses yet