Tuhan Tidak Melihat Agamamu
KITA sepakat dalam suatu pemahaman yang utuh bahwa surga adalah hak prerogatif nya Tuhan dan manusia setinggi apapun ibadahnya takkan mampu memberi satu kepastian bahwa si anu masuk surga dan si ana masuk neraka. Antara agama dan keimanan tak ada seseorang pun yang menginginkan ia dilahirkan dengan agama orang tuanya.
Saya memikirkan judul opini yang saya tulis diatas berbulan-bulan sebelum membulatkan tekad untuk menuliskannya, pada awalnya saya mencoba untuk melupakan judul tersebut untuk ditulis karena takut disalahpahami dan akhirnya seiring dengan berkembangnya rasa ingin tahu saya tidak bisa juga untuk menjauhkan judul tersebut dari pikiran saya.
Terkadang dan terbiasa dalam keseharian yang saya jalani, bila ada suatu pikiran dan tanda-tanya yang begitu menyengat di kepala dan bila semakin saya menjauh dari suatu pemikiran tersebut, hal itu semakin membuat saya justru semakin penasaran untuk mencari tahunya dan saya sangat termotivasi untuk mencari dan mengumpulkan bahan penulisan ini. Tak pernah puas, ingin yang lebih tapi bukan berarti tidak bersyukur hanya berusaha untuk lebih baik lagi.
Tentu akan ada penolakan dari beberapa pihak dan bisa berujung pada pengkafiran apabila konsep judul ide diatas tidak didalami argumentasinya secara logis. Hal pertama yang paling saya khawatirkan dari tulisan ini adalah saya takut dianggap mungkin disindir sebagai nabi, dajjal, pemikir sesat dan perusak aqidah bangsa bahkan dituduh murtad. Seorang penulis harus siap mendapat cercaan tersebut dengan lapang dada tanpa harus mencaci orang tersebut.
Padahal niat saya bukan seperti itu, dari awal ketika menulis yang menjadi motivasi saya adalah memperkaya sudut pandang, kita bisa melihat dari pandangan yang lain. Niat saya hanya untuk membuka sudut pandang pembaca dan mungkin kita bisa sama-sama melihat dari sisi yang lain agar kita bisa merasa lebih hidup akan kesadaran dari beragam perspektif yang ada.
Hal yang kedua ditakuti oleh seorang pemikir adalah dianggap sebagai filsuf, saya rasa titel filsuf itu tidak tepat bila dijuluki kepada seseorang yang masih hidup, apalagi bila seseorang dianggap sebagai ahli filsafat, titel itu sangat menggangu dan bisa menjadi satire yang berujung penghinaan kepada seorang pemikir. Maka janganlah pernah memanggil seseorang dengan nama sebutan filsuf karena itu sangat menyakiti pikirannya dan bisa membuatnya sombong sehingga lupa untuk bergaul sebagai manusia biasa.
Maka sebelum menulisnya saya coba jogging sampai mendapatkan inspirasi apakah judul tersebut ditulis atau tidak, dan akhirnya saya mendapat tekad untuk menuliskannya secara jujur.
Tuhan tidak melihat agamamu, yang terlintas dipikiran saya adalah satu negara yang tanpa memandang identitas rakyatnya. Tuhan memberi kuasa kepada manusia berupa akal untuk berpikir memberi penilaian pada suatu fenomena baik yang terjadi dan akibat selanjutnya.
Suatu Pemikiran terkadang tidak disukai bisa jadi karena ia menghancurkan ilusi dari sensasi yang dikonsumsi manusia secara berlebih. Kenapa Tuhan menurunkan kitab suci dan memerintahkan kepada manusia untuk mengamalkannya karena bisa jadi ada batas yang tak harus dilampaui manusia disebabkan bisa menghancurkan mental seseorang.
Pikiran kalau kita analogikan bisa jadi seperti pabrik kimia yang sebagaimana yang kita ketahui bila zat-zat berbahaya tidak dapat dikontrol 0,001 % saja bisa mengakibatkan ledakan besar yang berujung pada kebakaran besar. namun disisi selanjutnya dalam banyak dalil yang ia turunkan banyak perintah kepada manusia untuk berpikir. Memang pada momentum yang tengah kita lalui saat ini, terlalu memikirkan Tuhan sama dengan menghabiskan waktu karena pada prinsip materialnya manusia harus bergerak bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Tuhan tidak melihat agamamu, sebagaimana yang saya tulis itu tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa Tuhan tidak melihat, yang saya maksud adalah bahwa agama apapun yang dianut seseorang tidak menjadi kunci utama dalam menentukan penilaian Tuhan kepada hambanya.
Saya tak ingin bermain dalam menulis sehingga tak ingin dianggap sebagai lelucon, apa yang saya tulis ini adalah apa yang saya pikirkan bukan apa yang saya khayalkan, suatu imajinasi yang merangkul seluruh logika menjadi satu konsep pemikiran dan itu lah kenapa filsafat sangat dibutuhkan bukan disesatkan dan jangan diharamkan.
Tidak ada yang namanya merusak iman selama seseorang berpikir filsafat untuk diri dan sekitarnya, sebab yang dipikirkan bukan memperkaya diri dengan merusak alam, melainkan justru yang berbahaya adalah memakai agama untuk melakukan korupsi, suatu kebiadaban yang dipakai dan banyak yang merasa bangga dengan korupsi asal beragama.
Disinilah keimanan teruji takkala seseorang mampu mengendalikan dirinya untuk tidak mengkafirkan seseorang yang rupanya mengkafirkan itu adalah seorang koruptor. Baik buruknya seseorang itu dilihat pada keadilan bagaimana seseorang menggunakan waktunya untuk bersikap adil kepada alam.
Bagaimana mungkin kita merasa suci dengan mengkafirkan orang yang berbeda agama, kalau bersikap adil dengan tidak korupsi saja kita tidak bisa? Itu adalah sebuah pertanyaan yang juga sebuah argumentasi logis bila saya menulis Tuhan tidak melihat agamamu melainkan melihat bagaimana dirimu bersikap adil.
Tuhan tidak melihat agamamu bisa ditafsirkan sebagai pandangan baru yaitu manusia bebas menginterpretasikan bagaimana ia berada dengan identitas agama yang tak pernah ia ingin. Kenapa dilahirkan beragama Islam dan kenapa dilahirkan tidak beragama menunjukkan bahwa dalam penilaian agama Tuhan sudah tidak mempermasalahkannya lagi sebab ia mengenal betul sisi kemanusiaan hambanya.
Tuhan tidak melihat agamamu adalah suatu cara pandang yang memperlihatkan bahwa tak perlu berlebihan dalam menganggap bahwa agamaku paling benar, dan tidak boleh meremehkan hingga memperkecil kan agama yang berbeda dari keyakinan seseorang. Semakin banyak agama dan perbedaan kekayaan ragam yang dimiliki negeri ini semakin menunjukkan bahwa semakin baik suatu negeri itu berdiri.
Dalam buku Catatan Pinggir, Goenawan Mohamad menulis : “Kegagalan kita untuk memaafkan, kesediaan kita untuk mengakui dendam, adalah penerimaan tentang batas. Setelah itu adalah doa. Pada akhirnya kita akan tahu bahwa kita bukan hakim yang terakhir. Di ujung sana, Tuhan lebih tahu.”
Yang menunjukkan bahwa ia adalah Tuhan yang memiliki hukum yang tertulis di dalam kesadarannta adalah pemilik keadilan yang paling tinggi, dan maha tahu bagaimana awal dan akhir. Manusia tak bisa memberi penilaian yang tepat sebab manusia memiliki sisi khilaf dalam dirinya. Menjadi jujur dengan bersikap adil sebab Tuhan tidak melihat agamamu.
Harian Analisa, 20 April 2019.