Abdi Mulia Lubis
4 min readApr 21, 2019

Tuhan Tidak Melihat Agamamu

KITA sepakat dalam suatu pema­ha­man yang utuh bahwa surga adalah hak prerogatif nya Tuhan dan manusia se­tinggi apapun ibadahnya takkan mam­pu memberi satu kepastian bah­wa si anu masuk surga dan si ana ma­suk neraka. Antara agama dan ke­ima­nan tak ada seseorang pun yang meng­inginkan ia dilahirkan dengan agama orang tuanya.

Saya memikirkan judul opini yang saya tulis diatas berbulan-bulan se­be­lum membulatkan tekad untuk me­nu­liskannya, pada awalnya saya men­co­ba untuk melupakan judul tersebut untuk ditulis karena takut disalah­pa­hami dan akhirnya seiring dengan ber­kembangnya rasa ingin tahu saya tidak bisa juga untuk menjauhkan judul ter­sebut dari pikiran saya.

Terkadang dan terbiasa dalam ke­se­­harian yang saya jalani, bila ada sua­tu pikiran dan tanda-tanya yang begitu menyengat di kepala dan bila semakin saya menjauh dari suatu pe­mikiran tersebut, hal itu semakin mem­buat saya justru semakin pena­saran untuk mencari tahunya dan saya sangat termotivasi untuk mencari dan me­ngumpulkan bahan penulisan ini. Tak pernah puas, ingin yang lebih tapi bukan berarti tidak bersyukur ha­nya berusaha untuk lebih baik lagi.

Tentu akan ada penolakan dari be­berapa pihak dan bisa berujung pada pengkafiran apabila konsep judul ide diatas tidak didalami argumen­tasinya secara logis. Hal pertama yang paling saya khawatirkan dari tulisan ini ada­lah saya takut dianggap mungkin disin­dir sebagai nabi, dajjal, pemikir sesat dan perusak aqidah bangsa bah­kan dituduh murtad. Seorang penulis ha­rus siap mendapat cercaan tersebut de­ngan lapang dada tanpa harus men­caci orang tersebut.

Padahal niat saya bukan seperti itu, dari awal ketika menulis yang men­­jadi motivasi saya adalah mem­per­­­kaya sudut pandang, kita bisa melihat dari pandangan yang lain. Niat saya hanya untuk membuka sudut pandang pembaca dan mungkin kita bisa sama-sama melihat dari sisi yang lain agar kita bisa merasa lebih hidup akan kesadaran dari beragam perspek­tif yang ada.

Hal yang kedua ditakuti oleh se­orang pemikir adalah dianggap se­ba­gai filsuf, saya rasa titel filsuf itu tidak tepat bila dijuluki kepada se­seorang yang masih hidup, apalagi bila seseorang dianggap sebagai ahli fil­safat, titel itu sangat menggangu dan bisa menjadi satire yang berujung penghinaan kepada seorang pemikir. Maka janganlah pernah memanggil seseorang dengan nama sebutan filsuf karena itu sangat menyakiti pikiran­nya dan bisa membuatnya sombong sehingga lupa untuk bergaul sebagai manusia biasa.

Maka sebelum menulisnya saya coba jogging sampai mendapatkan inspirasi apakah judul tersebut ditulis atau tidak, dan akhirnya saya menda­pat tekad untuk menuliskannya secara jujur.

Tuhan tidak melihat agamamu, yang terlintas dipikiran saya adalah satu negara yang tanpa memandang identitas rakyatnya. Tuhan memberi kuasa kepada manusia berupa akal un­tuk berpikir memberi penilaian pada suatu fenomena baik yang terjadi dan akibat selanjutnya.

Suatu Pemikiran terkadang tidak di­sukai bisa jadi karena ia meng­han­curkan ilusi dari sensasi yang dikon­sumsi manusia secara berlebih. Ke­na­pa Tuhan menurunkan kitab suci dan memerintahkan kepada manusia un­tuk mengamalkannya karena bisa jadi ada batas yang tak harus dilampaui ma­­­nusia disebabkan bisa menghan­cur­­kan mental seseorang.

Pikiran kalau kita analogikan bisa jadi seperti pabrik kimia yang sebagaimana yang kita ketahui bila zat-zat berbahaya tidak dapat dikon­trol 0,001 % saja bisa mengakibatkan le­­dakan besar yang berujung pada ke­­bakaran besar. namun disisi selan­jut­nya dalam banyak dalil yang ia turunkan banyak perintah kepada manusia untuk berpikir. Memang pada momentum yang tengah kita lalui saat ini, terlalu memikirkan Tuhan sama dengan menghabiskan waktu karena pada prinsip materialnya manusia ha­rus bergerak bekerja untuk me­me­nuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Tuhan tidak melihat agamamu, se­ba­gaimana yang saya tulis itu tidak ber­maksud untuk mengatakan bahwa Tu­han tidak melihat, yang saya mak­sud adalah bahwa agama apapun yang dianut seseorang tidak menjadi kunci uta­ma dalam menentukan penilaian Tuhan kepada hambanya.

Saya tak ingin bermain dalam menulis sehingga tak ingin dianggap sebagai lelucon, apa yang saya tulis ini adalah apa yang saya pikirkan bu­kan apa yang saya khayalkan, suatu ima­jinasi yang merangkul seluruh lo­gika menjadi satu konsep pemi­kiran dan itu lah kenapa filsafat sangat di­butuhkan bukan disesatkan dan jangan di­haramkan.

Tidak ada yang namanya merusak iman selama seseorang berpikir fil­safat untuk diri dan sekitarnya, se­bab yang dipikirkan bukan memper­ka­ya diri dengan merusak alam, melainkan justru yang berbahaya adalah mema­kai agama untuk melakukan korupsi, sua­tu kebiadaban yang dipakai dan ba­nyak yang merasa bangga dengan korupsi asal beragama.

Disinilah keimanan teruji takkala se­seorang mampu mengendalikan di­rinya untuk tidak mengkafirkan se­seorang yang rupanya mengka­fir­kan itu adalah seorang koruptor. Baik bu­ruknya seseorang itu dilihat pada ke­adi­lan bagaimana seseorang meng­gu­nakan waktunya untuk bersi­kap adil kepada alam.

Bagaimana mungkin kita merasa suci dengan mengkafirkan orang yang ber­beda agama, kalau bersikap adil de­ngan tidak korupsi saja kita tidak bisa? Itu adalah sebuah pertanyaan yang juga sebuah argumentasi logis bila saya menulis Tuhan tidak melihat agamamu melainkan melihat bagai­mana dirimu bersikap adil.

Tuhan tidak melihat agamamu bisa di­tafsirkan sebagai pandangan baru yai­tu manusia bebas mengin­terpre­ta­si­kan bagaimana ia berada dengan iden­titas agama yang tak pernah ia ingin. Kenapa dilahirkan beragama Islam dan kenapa dilahir­­kan tidak beragama menun­jukkan bahwa dalam penilaian agama Tuhan sudah tidak memperma­sa­lahkannya lagi sebab ia mengenal betul sisi kema­nusiaan hambanya.

Tuhan tidak melihat agamamu adalah suatu cara pandang yang memperlihatkan bahwa tak perlu berlebihan dalam menganggap bahwa agamaku paling benar, dan tidak boleh meremehkan hingga memperkecil kan agama yang berbeda dari keyakinan seseorang. Semakin banyak agama dan perbe­daan kekayaan ragam yang dimiliki negeri ini semakin menunjukkan bahwa semakin baik suatu negeri itu berdiri.

Dalam buku Catatan Pinggir, Goenawan Mohamad menulis : “Kegagalan kita untuk memaafkan, kesediaan kita untuk mengakui dendam, adalah penerimaan tentang batas. Setelah itu adalah doa. Pada akhirnya kita akan tahu bahwa kita bukan hakim yang terakhir. Di ujung sana, Tuhan lebih tahu.”

Yang menunjukkan bahwa ia adalah Tuhan yang memiliki hukum yang tertulis di dalam kesadarannta adalah pemilik keadilan yang paling tinggi, dan maha tahu bagaimana awal dan akhir. Manusia tak bisa memberi penilaian yang tepat sebab manusia memiliki sisi khilaf dalam dirinya. Menjadi jujur dengan bersikap adil sebab Tuhan tidak melihat agamamu.

Harian Analisa, 20 April 2019.

No responses yet