Abdi Mulia Lubis
4 min readJul 18, 2019

Ulama Totaliter

Hati-hati dalam men­dengar­kan ceramah yang menyimpang bahkan menyesatkan generasi mille­nial di masa kini. Pendakwah itu tak selama­nya benar dan sering sekali menyim­pang dalam mengajarkan ajaran agama yang dibawanya. Kalau ada ulama yang suka menyesatkan bah­kan mengkafirkan seseorang yang berbeda, justru itulah ulama yang sesat menyimpang dari ajaran agama. Sebab, ia merasa suci tanpa pernah melakukan kesalahan sedikitpun, lalu dengan merasa suci itu ia dengan bangganya mengkafirkan orang lain.

Betapa kejamnya kekuasaan dalam beragama masa kini, orang dipaksa untuk nurut apa yang dikatakan dalil, sementara para pemuka agamanya sibuk dengan urusan poligami dengan hasil duit korupsi. Kita memang dibuat sakit dengan banyaknya ting­kah laku para pemuka agama yang ilmunya masih instan tapi merasa paling suci minta ampun menganggap setara nabi.

Bukan perkara moral lagi bila para akademisi masa kini menganggap pendidikan agama memang layak untuk dihapuskan, minimal dikurangi agar pengetahuan empiris yang sejatinya bertumpu pada pengalaman inderawi dapat terus terasah demi kemaslahatan masa depan sejarah peradaban yang lebih baik.

Agama itu soal privasi dan para pemuka agama jangan pande-pan­dean ngurusi privasi orang lain. Sebab yang dapat menilai seutuhnya bejat-laknatnya seseorang itu hanya Tuhan Sang Pencipta, sementara manusia ilmunya masih dangkal. Maka, fokus­lah pada ilmu pengetahuan berbasis alam saja. Lindungi alam dan jaga kearifan lingkungan baru urus iman orang lain.

Sebagai orang yang berilmu se­baik­­nya para pemuka agama jangan terlalu ikut campur dalam membahas perihal politik yang terjadi di negeri ini, sebab basis ilmunya berbeda. Agama membahas kehidupan surga, sementara politik membahas kehidu­pan sosial yang terjadi di masa kini. Dari kedua hal tersebut kita bisa membedakan, maka jangan sampai para pemuka agama melampaui batas yang telah ditentukan oleh negara.

Rasanya menggemaskan melihat kedunguan para pemuka agama instan yang asal sembarangan berdakwah tanpa pernah berpikir. Habis men­de­ng­ar­kan ceramah bikin telinga tam­bah panas, emosi. Hari demi hari penuh bicara perjuangan. Jangan bebani hidup dengan ceramah keben­cian, sebab ada banyak pekerjaan yang harus kita kerjakan. Belum lagi kewajiban sebagai warga negara adalah untuk menjaga ketertiban dunia dengan berlandaskan Pancasila.

Saya Islam dan saya sadar betapa pentingnya menetralisir para pemuka yang melenceng dari ajaran Pan­ca­sila. Lebih baik kita meluangkan waktu untuk refleksi diri lihat sekitar bah­wa kehidupan sosial memiliki ba­nyak tantangan, yaitu bagaimana ma­nusia diajarkan untuk bisa meng­alah­kan mesin agar tidak menjadi budak dari canggihnya teknologi abad ke 21.

Dunia adalah tempat berkarya, bukan tempat untuk menumpuk kemunafikan berlandaskan iman. Apakah kita berkarya tidak sesuai syariat itu tidaklah menjadi alasan, sebab manusia dilahirkan dengan kehendak bebas, yaitu bebas menjadi dirinya sendiri tanpa harus meren­dahkan orang lain.

Sering sekali kita dipaksa untuk sesuai dengan syariat, lalu syariat itu dengan mudahnya men-judge kele­mahan orang lain. Kalaulah beriman, maka berikanlah dengan atas diri sendiri tanpa harus berusaha me­nunjuk­kan kesucian di depan umum.

Masyarakat kita sudah cerdas dalam membaca kondisi saat ini, jadi jangan paksakan diri lagi bagi para pemuka agama untuk menggurui, apalagi memaksa kehendak pribadi seseorang agar terlihat santun jauh dari segala dosa.

Ada pemuka agama yang menya­takan bank diharamkan, lalu mereka sendiri buat bank syariah. Intinya sama, cuman ganti istilah syariah saja. Ulang tahun diharamkan lalu mereka sendiri pake happy milad. Intinya sama, cuman ganti kata milad saja. Hari kasih sayang diharamkan lalu mereka sendiri tebar kebencian. Ini jelas menunjukkan berbeda dan munafiknya bejat kali.

Kita dibuat mabuk pada agama dan di satu sisi kita menghancurkan agama itu dengan kepura-puraan yang di luar kesadaran. Tidak ada orang yang sempurna, kalaupun ada se­seorang yang menempuh jalan lurus ia takkan mudah mencaci maki, bah­kan memamerkan kesalehan yang telah ia perbuat.

Orang yang disebut ateis, malah banyak yang mendedikasikan hidup­nya untuk kebaikan, kebenaran, dan keindahan. Mereka itu boleh jadi lebih ber-Tuhan ketimbang orang yang (mengaku) beriman tapi into­leran, tak punya integritas dan rasa keindahan. Karena sesungguhnya Tuhan itu Sumber Segala Kebaikan, Kebenaran, dan Keindahan.

Sedangkan orang agnostik (orang yang meragukan suatu kebenaran) itu berbakat beriman, karena iman selalu mengandung kesadaran akan keter­batasan seluruh daya intelektual untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang misteri hidup: dari mana kita berasal, bagaimana seha­rus­nya menjalani hidup di dunia, dan ke mana setelah mati.

Haidar Bagir, penulis buku-buku tentang Tasawuf dan Presiden Direk­tur Kelompok Mizan mengatakan, agama bagi sebagian (cukup banyak) kita telah jadi sarana pengerasan iden­titas politik dan kelompok, yang me­lahir­kan eksklusivisme dan konflik dengan liyan (yang lain), bahkan kebencian. Padahal sesungguhnya agama adalah sumber kasih, persau­daraan, toleransi, dan kedamaian. Maka daripada itu beliau berpesan da­lam setiap tulisannya kepada pem­baca untuk mari beragama dengan rasa cinta, bukan dengan rasa keben­cian, apalagi merasa paling suci.

Harian Analisa, 18 Juli 2019.

No responses yet