Abdi Mulia Lubis
4 min readFeb 15, 2020

Yang Abadi Hanyalah Kepentingan

MANUSIA pada umumnya membutuhkan kepastian hidup mengenai keadaan ekonomi yang wajib terpenuhi sehari-hari, kepastian mengenai makan dan situasi perut yang kian lapar serta faktor keadaan berkeinginan yang ha­rus terpenuhi menyebabkan seseorang mencari rezeki tanpa pernah memikirkan halal dan haramnya uang itu di dapat.

Yang menarik untuk dipikirkan adalah kira-kira bisa mendapatkan uang yang cepat dengan jumlah yang besar membuat seseorang mudah lupa akan kebenaran dan bekerja tanpa memikirkan dosa buruknya. Bahkan yang menjadi permasalahan besar yang terjadi saat ini adalah uang Rp50 ribu dan Rp100 ribu itu sudah menjadi nafsu yang besar bila melihatnya sangking betapa sulitnya mencari uang itu bagi masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah.

Kita tak bisa mengeluh bahkan mengeluh hanya akan menambah beban kehidupan. Satu-satunya cara yang terbaik adalah dengan berusaha dan bekerja walaupun betapa susah mencari pekerjaan itu apapun harus dikerjakan demi meraih sesuap nasi.

Ada orang sampai rela mencuri, korupsi, bahkan menjual dirinya sebagai pelampiasan nafsu sang pembeli tubuh sudah tak menjadi masalah di era Milenial saat ini karena yang menjadi utama manusia adalah kepentingan semata. Kepen­tingan itu sudah menjadi kepastian yang tak bisa diubah lagi, satu-satunya kepastian yang ada di dalam jiwa seseorang dalam bertahan hidup adalah mengutamakan kepentingan, bahkan tak bisa dielakkan lagi bahwa orang-orang bergerak karena faktor kepentingan yang mendesak yaitu menyelamatkan diri dan keluarganya dari beban kebutuhan pokok sandang, pangan papan.

Dimasa kini dimana ada pergerakan disitu ada kepen­tingan. Peta politik yang bisa berubah acak-acakan setiap detik disebabkan adanya janji angin surga dari politikus yang sampai mampu mengubah situasi hati masyarakat dalam mendukung maupun berpihak kepada setiap calon individu. Rakyat tidak peduli mendengarkan program, rakyat tidak perlu sibuk memikirkan siapa yang terbaik untuk me­mimpin 5 tahun mendatang, yang rakyat utamakan da­lam memilih atau tidaknya seorang pemimpin adalah be­rapa serangan fajar yang berani disiram oleh para calon pemimpin tersebut per suara kepadanya.

Seorang calon pemimpin tidak peduli apa program kedepannya, bagaimana pemerintahan dijalankan dengan baik, yang calon pemimpin utamakan dan siapkan paling awal adalah uang yaitu modal utama untuk kampanye.

Segala sesuatu itu bisa diurus jika memiliki modal uang yang cukup sehingga tidak ada anggota yang merasa terbe­bani maupun tersiksa menjadi kelaparan dalam bertempur maupun berjuang di pilkada.

Ketimpangan yang terjadi saat ini sudah menyebar luas seperti virus yang tak bisa dihapuskan. Virus ketimpangan itu akan semakin membesar dan tidak bisa semakin ber­kurang. Siapapun pemimpinnya siapapun penguasa di daerah yang memiliki track record yang bagus tidak akan bisa mengubah ketim­pangan yang terjadi saat ini menjadi berkah. Ketimpangan itu menye­babkan orang beramai-ramai mencari uang tanpa memperdulikan halal dan haramnya uang itu di dapat.

Ini bukan soal tidak memiliki optimisme dalam berjuang melainkan sudah begitu hancurnya situasi perekonomian dan kita harus berpikir seluas-luasnya untuk mendapatkan solusi terbaik bagi jalannya pemerintahan di negara ini. Yang menjadi pertanyaan adalah adakah harapan itu? Tentu harapan ada tinggal bagaimana cara kita merealisasikannya dengan sungguh-sungguh agar bisa terlihat sedikit celah solusi untuk menjadi lebih baik kedepannya. Melihat ketika bicara mengenai nasionalisme banyak yang cuek dan perduli disebabkan kepentingan yang utama serasa seperti terdesak.

Tidak ada kejujuran dalam suatu pekerjaan selain ke­pentingan di dalam mengambil kesempatan, begitulah prin­sip yang dimiliki setiap orang bahkan seorang politikus me­miliki prinsip lebih besar seperti itu yaitu rela menjadi budak dari lawan politik menjelang hari H pemilihan asal bayarannya jelas dan double. Salah satu hal yang sulit di dapat pada masa kini adalah kepercayaan dan para peng­khianat tidak peduli dengan kesetiaan karena yang mereka kejar adalah uang dan jabatan.

Mental pejabat daerah yang ada di dalam kekuasaan saat ini tak bisa lepas dari yang namanya mental proyek, yaitu apa-apa harus ada ang­garannya, kalau tak ada anggarannya maka tak akan ada yang dikerjakan. Banyak pegawai honorer yang rela bayar Rp30 juta untuk diterima masuk kerja sebagai pegawai honorer. Begitu masuk kerja dari pagi sampai sore kerjanya cuma main hape manfaat jaringan WiFi yang gratis.

Begitulah sehari-harinya dari hari Senin sampai hari Jumat. Mental masyarakat kita memang sudah hancur total akibat banyaknya konsumsi sensasi yang berlebih ketimbang pelajaran logika filsafat.

Sehingga orang-orang lebih tertarik pada ustad dungu ketimbang ilmuwan yang menemukan banyak trobosan pengetahuan.

Dalam berpolitik setiap orang besar kemungkinan bisa menjadi pengkhianat dan penjilat, rela menjilat ludah yang ia buang disebabkan kepentingan berupa uang yang bisa dihasilkan. Kepentingan sudah menjadi kewajiban, bahkan menjadi pengkhianat sudah menjadi hal biasa.

Yang menjadi masalah adalah kita mengusahakan yang terbaik buat satu kelompok, maka kelompok itu juga memanfaatkan mencari dukungan kepada pihak yang lain dan itulah salah satu yang menjadi penyebab sulitnya mendapatkan kepercayaan kepada orang lain.

Harian Analisa, 23 Oktober 2019

No responses yet